Senin, 29 Oktober 2012

Budaya Tradisi : Harta yang Terabaikan

Oleh : Muhamad Erza Wansyah*

Belakangan ini berkembang konsep budaya baru di tengah gejolak pergulatan ekonomi, politik, dan sosial di kalangan umat manusia. Budaya baru yang tidak memiliki pijakan identitas tetap karena selalu mengikuti kemana dan dimana minat konsumen pergi. Budaya populer, yang dikenal juga dengan istilah Pop-Culture, budaya baru yang seolah-olah telah melucuti satu-persatu nilai leluhur Rakyat Indonesia.

Budaya populer memiliki potensi besar dalam memengaruhi pandangan hidup masyarakat. Melalui keramahannya dalam menyapa minat pasar, masyarakat secara sadar maupun tidak sadar ditarik ke dalam zona nyaman bentukan budaya tersebut. Tarik saja contoh pada belantika musik tanah air. Beberapa waktu yang lalu, musik beraliran pop melayu memiliki popularitas tinggi, saat itu juga banyak bermunculan musisi-musisi yang menghidangkan lagu-lagu beraliran pop melayu. Sedangkan saat ini, akibat masuknya boyband-boyband Korea ke dalam belantika musik tanah air, bermunculan pula boyband-boyband asal Indonesia yang sedikit banyak meniru konsep boyband-boyband Korea. Hebatnya, keberadaan boyband-boyband tiruan ini dapat membuat reputasi musisi penyaji lagu pop melayu hampir membeku.

Kondisi seperti ini tidak terlepas dari minimnya pemahaman masyarakat akan dampak negatif budaya populer, budaya yang dibawa oleh bangsa barat, terhadap keberlangsungan budaya tradisi bangsa Indonesia. Jika dalam kurun waktu yang singkat saja tawaran baru dapat menggeser popularitas tawaran sebelumnya, pemberian para leluhur Indonesia yang telah lama disuguhkan, sesuatu yang telah dianggap sebagai tradisi, hanya akan menjadi dongeng yang ditulis dalam buku sejarah Indonesia. Tidak hanya itu, kemampuan berfilsafat yang rendah juga merupakan dampak negatif yang akan timbul saat penerapan budaya populer di masyarakat tidak juga diantisipasi. Pola pikir masyarakat dalam memandang sesuatu, nantinya hanya akan sebatas permukaan dan tidak lagi menjadikan kedalaman makna sebagai orientasi. Semisal para penggemar boyband Korea yang hanya menjadikan ketampanan personel sebagai alasan fanatismenya.

Indonesia adalah bangsa yang kaya. Tidak hanya di sektor sumber daya alamnya, Indonesia juga merupakan bangsa yang kaya akan budaya tradisi. Ketika sumber daya alam telah terkeruk oleh negara asing, budaya tradisi adalah harta yang harus dipertahankan. Namun, hingga saat ini kesadaran akan pentingnya budaya tradisi di masyarakat masih kurang. Masih banyak manusia Indonesia, dari strata atas hingga bawah, yang memakai kacamata populer untuk merujuk fenomena di negaranya. Padahal garis sejarah bangsa Indonesia dengan negara-negara pembawa budaya tersebut berbeda jauh. Yang lebih memprihatinkan, wabah populer juga menjangkit generasi muda, generasi yang disebut-sebut sebagai penerus bangsa, tunas dan harapan bangsa. 


Bagi masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, budaya tradisi sudah seharusnya dianggap sebagai harta warisan turun-temurun yang diberikan oleh nenek moyangnya sebagai modal untuk kelanjutan hidup anak cucunya. Karena budaya tradisi adalah sesuatu yang kaya akan nilai, baik secara historis maupun filosofis. Mulai norma, tari-tarian, perayaan hari besar, hingga artefak-artefak seperti pakaian, rumah adat, serta senjata-senjatanya, pasti memiliki makna tersirat yang masih relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia kini. 

Misalnya saja Reog Ponorogo, Secara historis, reog adalah salah satu cara seorang abdi kerajaan untuk menarik massa agar dapat membantunya melakukan perlawanan terhadap salah satu raja Majapahit, Kertabumi, yang dianggapnya tidak becus dalam menjalani kerajaan. Bentuk perlawanan yang dilakukan abdi kerajaan ini merupakan salah satu bukti relevansi antara zaman dulu dan sekarang, yaitu kebobrokan pemerintah mengundang perlawanan rakyatnya. Bukti lain terdapat pada pagelaran wayang. Seringkali kisah dalam pagelaran wayang juga menggambarkan kondisi masyarakat indonesia hari ini. Tidak jarang pula ditemukan orang-orang yang menggunakan pagelaran wayang sebagai media untuk mengkritisi kondisi sosial dan politik Indonesia. Mirisnya, popularitas reog dan pementasan wayang kalah dengan tawaran bangsa barat, seperti demonstrasi dan film.

Jika dianalogikan, budaya tradisi di Indonesia telah menjadi harta yang terabaikan. Aset yang semestinya dapat meningkatkan kepercayaan diri bangsa dalam berinteraksi dengan bangsa luar namun ditinggalkan demi mendapatkan harta orang lain. Ketika bangsa barat maju dengan kemajuan teknologinya, seharusnya Indonesia dapat menyusul kemajuan bangsa barat dengan warisannya yang kaya akan nilai positif.

Peningkatan eksistensi nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tradisi adalah jalan keluar untuk meredam efek yang ditimbulkan oleh budaya populer yang telah melilit mental bangsa Indonesia. Dengan pelestarian kebudayaan tradisi, setidaknya masyarakat telah diberi rangsangan untuk mengangkat dan memahami lebih jauh nilai-nilai yang terkandung dalam setiap kebudayaan yang bangsanya miliki. Penyadaran bahwa budaya tradisi adalah harta Indonesia yang terabaikan sudah harus dimunculkan. 

Disinilah peran media massa bermain. Gerakan media massa yang saat ini berorientasi pada profit, sudah seharusnya diidealisasikan ke arah pembangunan karakter bangsa melalui penanaman nilai-nilai budaya tradisi. Zaman sekarang, media massa sebagai penyebar informasi, merupakan aktor yang memiliki kekuatan besar dalam membentuk visi masyarakat. Hal ini disebabkan kebutuhan masyarakat akan informasi. Dalam bukunya yang berjudul Kebebasan Semu : Penjajahan Baru di Jagat Media, Agus Sudibyo menjelaskan bahwa media bukan lagi sebagai pelengkap, melainkan telah menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya Indonesia pascareformasi. 

Saat media massa di Indonesia menjadikan tayangan dengan unsur tradisi sebagai tayangan utama, dan menomorduakan tayangan-tayangan barat, diharapkan rasa memiliki sedikit banyak akan tercipta dalam benak masyarakat. Tidak lagi menampilkan isu-isu kebudayaan hanya saat kebudayaan Indonesia direbut oleh bangsa lain, karena nantinya hanya sebatas melahirkan rasa kepemilikan yang sesaat. 

Perlu adanya usaha yang komprehensif dari media demi terciptanya kecintaan masyarakat kepada budaya tradisinya. Dalam membangkitkan semangat budaya tradisi, media dapat sedikit mengikuti arus budaya populer. Langkah awal yang pasti, dengan memperbanyak intensitas penayangan tayangan berjenis kebudayaan, seperti yang telah dilakukan beberapa stasiun televisi swasta. Saat reputasi budaya tradisi berada di pucuk, indoktrinasi nilai-nilai tradisi dilakukan dibarengi dengan upaya meminimalisir tayangan-tayangan berbasis asing.

Media hanyalah salah satu cara untuk mengangkat nilai-nilai tradisi asli Indonesia, masih banyak cara lain yang dapat digunakan. Melalui pendampingan orang tua, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Namun semua upaya yang dilakukan akan sia-sia saat perasaan primordial terhadap suku dan budayanya masih menjadi penyakit yang menjangkit masyarakat indonesia yang terdiri dari berbagai ras dan suku yang masing-masing memiliki tradisinya sendiri. Toleransi adalah kuncinya. Dengan toleransi, manusia Indonesia akan menyadari kesamaan dari masing-masing budayanya. Kesamaan yang merupakan identitas bangsa, yaitu moralitas. Bagaikan pelangi, Indonesia merupakan bangsa yang berwarna-warni, namun tetap indah.

Pelestarian budaya Indonesia adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap Individu maupun organ yang menjadi bagian dari Indonesia. Sudah lelah tubuh ibu pertiwi dijajah, sudah bosan alam bangsa terkeruk, jangan biarkan warisan budaya si atas kuasa bangsa asing. Jika perlu rebut kembali harta-harta yang pernah terenggut. Menjadi negara kaya, dengan hati yang mulia, tanpa niat berkuasa. Memang tak mudah, mungkin saat tiba waktunya, manusia-manusia Indonesia saat ini tidak lagi dapat merasakan hasil upayanya. Tapi setidaknya, anak cucunya tidak harus ikut merasakan penderitaan. Bukankah banyak pejuang kemerdekaan yang mati tanpa merasakan kemerdekaan? Dan merekalah pahlawan.

*Penulis adalah mahasiswa Psikologi FISIP UB 2010
dan merupakan anggota HMI K ISIP Brawijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar