Oleh : Muhamad Erza Wansyah*
“Ilmu pengetahuan semakin banyak melahirkan
keajaiban. Dongengan leluhur sampai pada malu tersipu. Tak perlu lagi orang
berapa bertahun untuk dapat bicara dengan seseorang diseberang lautan. Orang
Jerman telah memasang kawat laut dari Inggris sampai India! Dan kawat semacam
itu membiak berjuluran ke seluruh permukaan bumi..”
Sebuah kutipan dari novel Bumi Manusia,
karangan Pramoedya Ananta Toer, menggambarkan peliknya perkembangan teknologi
yang melilit dunia. Menamai dirinya modernisasi, dan melupakan sejarah yang
membangunkannya. Teknologi, betapa indah harga yang didapat saat orang
memilikinya. Betapa mudah memiliki waktu santai saat orang menggunakannya.
Namun, betapa sakit hati leluhur saat anak-cucunya mengabaikan warisannya hanya
demi sebongkah besi pintar.
Indonesia, adalah negeri yang kaya akan
budaya. Bangsa yang hadir dengan beragam warna. Menghiasi dirinya dengan
permata hati. Melangkah pasti dengan ramah tamah, meski memiliki banyak harta.
Namun, itu dulu, saat bangsa ini belum tersentuh budaya barat, beberapa abad
yang lalu, saat para pewaris kebudayaan masih bernafas. Saat ini, bangsa
Indonesia sulit membuka mata untuk melihat buah dari masa lalu. Benih-benih
sejarah hanya sekedar tertanam di dalam tubuh Ibu Pertiwi, enggan merawat,
terabaikan sia-sia.
Air mata Ibu Pertiwi menetes tiap
waktunya, membasahi goresan pena dalam buku sejarah yang berdebu tertata rapi
di almari, sedangkan tumpukan buku bangsa eropa berada di atas meja belajar anak-anaknya. Ibu
pertiwi menangis, melihat garuda merintih terlukai oleh dosa anak-anaknya.
Tidak ada lagi moral, tidak penting lagi nilai, yang penting punya gak susah. Manusia Indonesia, tidak lagi
seputih benderanya, darahnya tak lagi semerah sang pusaka.
Di
Indonesia
Indonesia dulu, bangsa yang dikenal
dengan kebersamaannya. Saat lingkungan tempat tinggal dirasa kotor, warganya
berkumpul, bekerja sama membersihkan daerahnya. Saat ada tetangga yang
meninggal, dengan tulus warga berbondong-bondong menghibur yang kehilangan.
Anak-anak bermain bersama dengan senyum polosnya. Namun, teknologi hadir,
menjadikan semuanya terasa mudah. Tak perlu lelah berkeringat demi kebersihan
lingkungan, masyarakat tinggal menunggu atau memanggil petugas kebersihan untuk
membersihkan sampah-sampah di sekitar tempat tinggal mereka. Saat ada kerabat
yang meninggal, hanya dengan mengirimkan pesan singkat via telepon genggam,
masyarakat sudah merasa bersimpati. Lalu, anak-anak sekarang, tak perlu lagi main
bersama-sama di sebuah lahan kosong. Game
online telah mempertemukan mereka di dunia maya dan cukup terbilang dapat
cukup menghibur.
Cukup mudah, cukup indah dan cukup menghibur. Teknologi mempermudah segalanya, namun cukup mengeruk maknanya. Mungkin, petugas kebersihan dapat membersihkan sampah-sampah yang berserakan, namun petugas kebersihan tidak dapat merekatkan orang-orang seperi yang dilakukan gotong royong. Petugas kebersihan juga tidak dapat menciptakan suasana hangat saat bapak-bapak berkumpul bersama setelah selesai mengerjakan tugasnya, menikmati cangkir demi cangkir kopi hitam, ditemani dengan asap-asap rokoknya, dan candaan khas mereka, sambil menunggu ibu-ibu bersama-sama membuatkan pisang goreng untuk santapan bersama. Lalu, yang terpenting, petugas kebersihan tidak bisa menghadirkan rasa puas dalam diri warga atas hasil kerja kerasnya bergotong royong membersihkan tempat tinggalnya.
Lain halnya dengan petugas kebersihan,
pesan singkat atau yang biasa dikenal dengan SMS (Short Message Service), fasilitas yang diberikan oleh telepon
genggam, justru bisa menjaga tali silaturahmi masyarakat. Dengan SMS, seseorang
dapat menunjukkan kepeduliannya terhadap sesamanya. Sayangnya, SMS tidak dapat
sepenuhnya memberikan gambaran ekspresi seseorang. Andai saja seorang individu
menunjukkan kepeduliannya dengan datang langsung menemui kerabat yang dituju,
setidaknya ia akan mengetahui ekspresi wajah dari kerabatnya. Ekspresi adalah
gambaran perasaan manusia. Dengan melihat ekspresi, seseorang dapat memahami
apa yang sedang dirasakan orang lain. Dengan memahami perasaan orang lain,
ketulusan dari sebuah kepedulian secara otomatis akan timbul menyelimuti hati.
Teknologi tidak hanya menggandrungi
orang-orang dewasa. Anak-anak dengan kepolosannya, juga terkena dampak yang dihasilkan oleh
teknologi, game online khususnya. Game online bagaikan candu yang membuat
anak-anak tidak bisa lepas darinya. Inilah yang paling memprihatinkan.
Anak-anak yang merupakan benih-benih emas bangsa ini, terkontaminasi oleh
produk luar negeri, yaitu game online.
Di zaman serba instan ini, game online yang
diskonsumsi oleh anak-anak cenderung mengandung unsur-unsur kekerasan. Wajar
saja ketika perilaku anak-anak zaman sekarang cenderung nakal dan tak terarah.
Terlebih saat pengawasan orang tua sangat minim, anak-anak nantinya akan terlalu bebas
mencicipi produk-produk yang tidak sepantasnya dikonsumsi.
Selain itu, game online juga menghilangkan permainan-permainan tradisional yang
pernah jaya di abad 20-an. Galasin, petak
umpet, bentengan, dll, tidak banyak lagi bermunculan di tanah air. Reputasi
hiburan anak-anak tersebut seolah-olah telah tertutupi oleh popularitas game online atau game-game lain bentukan bangsa asing. Bocah-bocah Indonesia tidak lagi bangga memainkan hiburan yang
sekarang telah dianggap kuno. Seiring berjalannya waktu, keberadaan hiburan
asli Indonesia akan menghilang dari peradaban.
Teknologi telah memanjakan rakyat
Indonesia. Contoh di atas hanya sebongkah karang dalam lautan, masih banyak
karang-karang lainnya jika mau mencari. Tawaran teknologi memang menggiurkan,
namun memanjakan. Ibu mana yang tak sedih melihat anaknya tak bisa mandiri?
Itulah yang dirasakan Ibu Pertiwi. Beliau menangis lagi karena anak-anaknya
dimanjakan oleh teknologi. Jerih payahnya membangun hiburan yang kaya akan
nilai, seolah tidak dihargai. Apalagi, tidak semua sadar kalau sang ibu
menangis.
Ibu hanya ingin melihat anak-anaknya
dewasa. Dapat mandiri, cerdas, bahagia, baik hati, dan yang pasti, tetap
mengamalkan nilai-nilai yang telah diajarkannya. Ibu mengajarkan tari,
membacakan dongeng, mengajak bermain, menjadi guru dalam berinteraksi, namun
tak ada yang mau mendengarkannya. Ibu menangis, saat dirinya terabaikan. Beliau
bersedih, saat dirinya terlupakan.
Jangan lagi buat ibu menangis. Jangan
lagi membuang air matanya. Sudah waktunya manusia Indonesia bangkit menjadi
manusia yang menghargai ibunya. Tidak ada ibu yang ingin anaknya menjadi orang
yang jahat. Ibu pertiwi juga, tidak ingin anak-anaknya menjadi orang yang
jahat, apalagi tidak berguna. Oleh karenanya, ibu telah wariskan nilai-nilai
yang banyak demi anaknya. Tidak ada yang negatif dari pemberiannya, selama
manusia tetap pada garis yang dibuatnya. Bersikaplah ramah, tuluslah dalam bertindak,
hargai orang lain, dan berjanjilah pada ibu pertiwi, “Ibu, kami berjanji akan jadi mandiri. Ibu, kami berjanji akan
melestarikan warisanmu”
*Penulis adalah mahasiswa Psikologi
FISIP UB 2010
dan merupakan anggota HMI K ISIP Brawijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar