Jumat, 21 September 2012

Kebijakan Luar Negeri Tanpa Diplomasi : “Pemerintahan Bush Di Persimpangan Jalan“

Oleh : Nanda Pratama (Nano)*

Kebijakan luar negeri pemerintahan Bush yang sampai sekarang mengalami kemunduran dalam proses diplomasi. Hal ini dampak dari pencampuran strategi antara diplomasi dan remiliterisasi. Keamanan dipahami secara berlebihan, dan cenderung mengesampingkan proses diplomasi. AS menempatkan dirinya sebagai subjek (Pemegang peran utama) dan menempatkan negara lain sebagai objek kebijakan luar negerinya, hal ini berpengaruh terhadap kecenderungan akan kembali terulangnya strategi yang diterapkan pada perang dunia kedua.
Adanya ancaman serangan teroris pada beberapa elemen penting (Ekonomi – Politik – militer) yang ada, membuka peluang yang lebih besar kepada pemerintahan Bush untuk mengambil peran yang lebih besar pada masalah ketertiban dan keamanan dunia. Kebijakan luar negeri AS yang demikian itu, telah menggerus peran lembaga multilateral dalam hal ini PBB dan menganggu proses diplomasi unilateral. Sikap tegas pemerintahan Bush terhadap teroris Internasional dengan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ‘Perang Baru Abad 21’, telah mengubah strategi yang ada. Dewas ini, AS telah menjadikan kekuatan militer sebagai kekuatan utama dengan mengesampingkan proses diplomasi. AS percaya bahwa perlu adanya ketegasan sikap terhadap ancaman keamanan dunia, namun mereka telah melupakan hal yang lebih penting dalam tatanan dunia. Bahwa kekuatan militer, tidak dapat menjawab semua permasalahan yang ada dan dengan mengesampingkan diplomasi justru terlihat banyak kelemahan pada kebijakan-kebijakan luar negeri pemerintahan Bush, seperti apa yang telah dilakukan para pendahulunya dalam menyikapi masalah Internasional.
Ketergantungan strategi yang dilakukan AS terhadap aset militer, semakin membuat kebijakan ini sangat terlihat ‘aneh’ untuk diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Hal ini membuat penilaian dunia telah bergeser, AS lebih terlihat sebagai pemerintahan realis daripada sebagai pemerintahan demokratis yang sering mengedepankan diplomasi. Sebuah pergeseran nilai yang tak dapat dihindarkan, ketika AS terus kukuh pada strategi militernya.

Si AMIN


Oleh : Ardy Fazri Maulana*

Suatu Awal terlihat kehidupan yang tentram, serba berkecukupan dan terlihat dua orang yang sedang menjalin hubungan suami istri. Si Amin bekerja sebagai marketing di suatu perusahaan besar di suatu kota. Senja adalah pacar sekaligus telah menjadi istri Amin. Setiap harinya sibuk dan setiap pulang kerja ia selalu mengeluhkan apa-apa yang telah dialaminya. Senja selalu mendinginkan hati Amin dikala pikirannya berapi-api.  Ketika itu ada surat kabar yang menggambarkan bahwa ada seorang pemuda gelandangan umur 20 th meniggal dunia di siku tepi jalan yang sepi, Memang sangat mengenaskan di tengah-tengah kota ada peristiwa seperti itu. Disisi lain Amin berjalan pulang kerumahnya dengan senang hati membawa oleh-oleh untuk istrinya karena mendapat bonusan dari perusahaannya, lalu ia berpesta dalam rumahnya merayakan kesuksesannya dengan istrinya.

Terdapat rumah Kumuh di tengah-tengah perkotaan dihimpit oleh gedung-gedung besar. Ada seorang ibu menunggu anaknya, karena anaknya seperti biasa akan memberikan uang dari hasil kerjanya sebagai pengamen. Dihari selanjutnya ia bercerita kepada tetangganya bahwa akhir-akhir ini anaknya tidak membawa uang, maksimal dia membawa gorengan dari temannya. Diapun (ibu) bercerita bahwa anaknya sulit dibangunkan, dan kalau dibangunkan dia marah-marah, tanpa alasan yang jelas. Besok harinya dikabarkan anaknya meninggal di siku jalan sehabis mengamen, teman-temannya tidak  tahu menahu sebelumnya ia kemana saja.

Semua teman pengamennya mengaku kalau si anak ibu itu pernah bercerita kepadanya bahwa dia pernah mengalami mimpi indah dengan seorang wanita gara-garanya ia melihat tetangganya Si Diding sedang berboncengan dengan wanita cantik  yaitu pacarnya Diding, sehingga terbawa ke mimpi si Amin , saking kepinginnya seperti tetangganya yang notabene seorang eksekutif muda yang secara otomatis mudah menggaet wanita yang mereka inginkan. Dan ibunya bertanya “lalu mengapa anakku 2 minggu ini emosinya labil?” lalu teman amin menjawab  ia membeli obat tidur yang tak terhitung jumlahnya untuk berusaha mencoba peruntungan agar mendapatkan mimpi indahnya dengan seorang wanita yang selalu ia banggakan dan tak lupa pekerjaan impiannya.

Dan yang memakai Topi, ibuk anak itu dan teman pengamen yang meninggal itu karena over dosis gara-gara meminum obat secara berlebihan itu adalah “Si Amin”, ya itu lah dia pemuda yang mempunyai harapan besar, mempunyai impian tinggi yang tak disertai dengan Fasilitas yang cukup. Suatu kemauan Amin yang sangat tinggi itu terjadi karena Kesenjangan Sosial yang sangat ketara diantarakeduanya yaitu si miskin dan si kaya. Ini kisah mimpi, ini kisah tentang keinginan diperlakukan sama, BUKAN kisah Cinta. Tidak ada gesekan cinta disini, yang terjadi hanyalah keinginan mencintai di ruang dan waktu yang tidak nyata. Kerelaaan Ruang mimpi harapan yang sampai-sampai tidak memberi nafkah kepada ibunya, tidak memperhatikan kesehatannya, tidak kenyataan lagi dalam berfikir. Inikah yang namanya cinta, pengorbanan? Palsu lah untuk kehidupan nyata diatas.

TAMAT

*Penulis adalah mahasiswa FISIP UB Program Studi Psikologi angkatan 2008
dan merupakan kader HMI K ISIP  Brawijaya

Kau Hanya Mahasiswa


Oleh : Muhamad Erza Wansyah*

Tak selangkah pun kau di depan raga sang massa
Peluang sarjana tak tunjuk kau jadi raja
Kau hanya sampah yang terolah
Dipungut oleh-Nya tuk jadi berguna

Kau hanya perusak angkasa raya
Penghuni neraka yang mengaku fitrah
Darah saudara sembahkan tuk nirwana
Iblis tertawa, dirinya kau anggap bidadari surga

Stratamu tak beda dengan yang lainnya
Hanya berjubah wacana buatmu merasa bangga
Kau tak indah, tak pula sempurna
Untuk apa kau hadirkan pesona, tanpa gerak mulia

Jangan kau angkat kepalamu dihadapan mereka
Merasa tak sama hanya karena berjudul mahasiswa
Mengatasnamakan perubahan, bersanding intelektual
Membelenggu kerendahan hati, memenjarakan keikhlasan diri

Transaksi menjadi orientasi
Melangkahkan moral demi otorisasi
Warnai arus dengan kuas politisi
Menyombongkan diri, enggan menjadi pemerhati

Kau hanya udang kecil yang mampu berfilosofi
Hidupmu hanya sebatas untaian kertas dalam semesta
Kau hanya mahasiswa, sama-sama manusia
Jangan bangga, yang kau miliki hanya asa

Bukan saatnya logika yang berbicara
Idealisasikan visi, gunakan hati
Masa depan bangsa, ditangan kita
Bergerak demi semua, demi indonesia jaya

Mahasiswa Indonesia, jangan hanya berkuliah
Gunakan akalmu untuk mengabdi
Pakai hatimu untuk berfikir
Masih banyak yang melata di luar sana
Tundukkan kepala, lakukan perubahan ke arah yang mulia

*Penulis adalah mahasiswa FISIP UB Program Studi Psikologi
dan merupakan anggota HMI K ISIP Brawijaya

BBM yang Naik Lagi


Oleh : M. Fatkhurrahman (Nanang)*

Indonesia merupakan negara yang bisa dikatakan kaya raya dalam hal SDA (sumber daya alam) mulai dari rempah-rempah, hasil tambang, hasil laut dan sebagainnya. Negara mana yang tidak mengenal indonesia dengan kekayaan yang melimpah ruah, seharusnya dengan modal kekayaan yang dimilikinya, manusia yang ada dibumi indonesia ini bisa merasakan kebahagiaan dengan tercukupi kebutuhannya. Melihat kenyataan seperti itu, siapa saja akan menggeleng-gelengkan kepala kalau indonesia menaikan BBM. Kenaikan BBM (bahan bakar minyak) di negara indonesia akan menimbulkan banyak permasalahan, baik itu masalah primer, sekunder bahkan ketertiban sosial. Keadaan ini terlihat dari setiap naiknya BBM, tidak terkecuali pada sekarang ini di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakilnya Budiono. Saat ini saja, kita tahu bahwasannya kebijakan tentang BBM bukan ditolak atau sepakat tetapi “ dipending ” bukan berati ini tidak naik, akan tetapi sangat amat berpotensi untuk naik, sehingga segala konsekwensi apapun harus diterima, baik itu aktor yang menolak keras BBM naik ataupun aktor yang berusaha keras agar BBM naik.

Hari ini saja harga-harga sudah naik, baik itu bahan pokok, padahal BBM belum naik. Dalam analisis saya, ini sangat amat wajar kalau ada aktor yang menolak dan setuju, karena asumsi yang diutarakan itu berlandaskan pada informasi dan apa yang diyakininya, sehingga ini bukan ranah antara benar dan salah, tetapi antara tepat dan tidak tepat. Pada dasarnya interpretasi dalam permasalahan kenaikan BBM, itu ditujukan agar mendekati keinginannya, sangat amat wajar kalaupun perbedaan pandangan ini bisa saya umpamakan antara langit dan bumi. Disini ada dua aktor, yaitu pemerintah dan raktyat, dalam pembahasan yang pertama dari sudut pandang rakyat setelah itu dari pandangan pemerintah.

Menganalisis masalah ini, dengan menggunakan Game Theory yaitu Battel of Sexes, dimana pertama akan ada kesepakan bersama, tetapi dalam eksekusi pelaksanaan terjadi perbedaan pendapat, disinilah permainan game theory dimulai. Kesepakatan awal yaitu pemerintah dan rakyat sepakat bahwasannya dalam menentukan kebijakan harus memihak rakyat bukan pihak asing, apalagi kepada pihak yang mempunyai kepentingan terhadap indonesia. Kesepakatan awal ini karena tugas pemerintah adalah melakukan aktifitas untuk kepentingan rakyat bukan pihak asing, dan rakyat sebagai objeknya. Mengenai masalah BBM pandangan rakyat seperti ini, pertama dengan keadaan sekarang banyak rakyat tidak bisa membeli BBM, ini dikarenakan daya beli masyarakat indonesia terhadap BBM masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain.

Meskipun harga BBM lebih murah dibandingkan negara-negara lain, akan tetapi harga tersebut relatif mahal bila dibandingkan dengan pendapatan kotor per kapita yang masih jauh dibanding negara-negara lain. Apalagi total premium yang dikonsumsi oleh rumah tangga, 64 persennya dikonsumsi oleh sepeda motor, sedangkan untuk mobil hanya 36 persen ( World Bank). Mengingat sebagian besar pemilik sepeda motor adalah masyarakat kelas menengah kebawah, maka berarti selama ini sebagian terbesar subsidi premium ( 64 persen ) dikonsumsi oleh kelompok kelas menengah dan bawah, bukan oleh kelompok kelas atas. Argumen tersebut didukung dengan data susenas BPS menunjukan bahwa 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh masyarakat kelompok miskin dan menengah bawah ( pengeluaran per kapita < 4 dollar AS ). Termasuk didalamnya ( 2 dollar AS ). Sementara kelompok rumah tangga menengah atas hanya mengonsumsi 8 persen dari seluruh bensin.

Kenaikan harga BBM akan memangkas daya beli masyarakat kelas menengah bawah. Kenaikan harga BBM juga akan memangkas daya saing industri nasional akibat menurunnya produktifitas industri, akibatnya pengusaha akan melakukan efisiensi dengan melakukan PHK buruh. Mendorong untuk naiknya harga-harga ( sembako, transportasi, dll ). Beban berat bagi petani karena kenaikan biaya produksi pertanian ( benih, pupuk, harga sewa tanah, sewa traktor dan pompa air juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan padi dan ongkos angkut atau transportasi ). Beban berat bagi nelayan diakibatkan meningkatnya biaya produksi yang akan dikeluarkan nelayan, dimana total biaya pembelian BBM mencapai 50-60 persen dalam satu kali melaut. Jika hal tersebut terjadi, nilai biaya yang akan ditanggung oleh perekonomian nasional akan lebih besar ketimbang perolehan dari penghematan subsidi BBM.


*Penulis adalah mahasiswa FISIP UB Program Studi Ilmu Politik angkatan 2010
dan merupakan kader HMI K ISIP Brawijaya

Classical Conditioning : Salah Satu Pengkondisian Pembentukan kepribadian Manusia

Oleh : Rio Agusto Bintang Nugroho*

Mungkin, Classical Conditioning bagi para pakar psikologi, maupun mahasiswa psikologi sudah dijadikan makanan keseharian saat kuliah, tapi mungkin masih sangat jarang di dengar oleh orang – orang non psikologi. Maka dari itu penulis tertarik untuk sedikit menjelaskan tentang Classical Conditioning ini.

Tokoh yang mencetuskan teori ini ialah Bapak Ivan Petrovich Pavlov, Beliau merupakan salah satu bapak psikologi aliran behaviorisme yang masih sangat dikenal pada masa kini. Beliau lahir di Rusia pada 1849 dan meninggal di sana pada tahun 1936. Ayahnya adalah seorang pendeta, dan Pavlov pada mulanya belajar untuk menjadi pendeta. Beliau berubah pikiran dan menghabiskan sepanjang hidupnya untuk mempelajari fisiologi. Pada 1904 beliau memenangkan habeliauh Nobel untuk karyanya di bidang fisiologi pencernaan. Beliau baru memulai studi refleks yang dikondisikan pada usia 50 tahun. Salah satu prosedur yang dilakukan Pavlov dalam eksperimennya adalah dengan membuat lubang di pipi anjing dan memasukkan sebuah tabung yang dapat menampung air liur yang dihasilkan oleh kelenjar liur yang dihasilkan oleh kelenjar liur agar volume liur tersebut dapat diukur.

Pada mulanya, Pavlov menganggap kejadian ini merupakan sekresi air liur yang menggangu. Tetapi beliaudengan cepat menyadari bahwa apa yang dilihat mahasiswanya adalah sebuah fenomena penting, fenomena yang membuat Pavlov percaya dan akhirnya menjadi dasar bagi proses belajar pada manusia maupun hewan lainnya. Beliau menyebut fenomena ini sebagai reflek “kondisional” kondisi karena hal ini tergantung pada kondisi lingkungan.

Pavlov semula membuat dugaan-dugaan mengenai apa yang dipikirkan oleh anjing-anjing tersebut dan apa yang mereka rasakan, yang membuat mereka berliur, sebelum makanan di sajikan. Tetapi kemudian beliau mengambil keputusan bahwa mencoba menjelaskan kemampuan mental dari anjing-anjing ini tidak akan ada gunanya. Sebaliknya, ia memusatkan perhatiannya pada upaya untuk menganalisis lingkungan dimana terjadi respons berupa reflex yang terkondisi ini.

Reflek yang mengeluarkan liur sebenanrnya menurut Pavlov terdiri dari sebuah stimulus tidak terkondisi (unconditioned stimulus), berupa makanan dan sebuah respons yang tidak terkondisi (unconditioned response) yaitu produksi liur. Yang dimaksud dengan stimulus tidak terkondisi menurut Pavlov adalah sebuah kejadian atau satu hal yang menghasilkan sebuah respons secara otomatis atau menghasilkan reflek yang otomatis. Sedangkan respons tidak terkondisi adalah respons yang dihasilkan secara otomatis tadi.

Menurut Pavlov, proses pembelajaran terjadi ketika sebuah stimulus netral (stimulus yang tidak atau belum menghasilkan sebuah respons tertentu, seperti berliur) dipasangkan secara teratur dengan sebuah stimulus tidak terkondisi selama beberapa kali. Stimulus netral ini kemudian akan berubah menjadi stimulus yang terkondisi (conditioned stimulus), yang menghasilkan sebuah proses pembelajaran atau respons terkondisi (conditioned response), yang biasanya serupa dengan respons alamiah yang tidak perlu dipelajari. Dalam laboratoriumnya, terlihatnya piring makanan anjing, yang sebelumnya tidak menghasilkan liur pada anjing, menjadi sebuah stimulus terkondisi yang menghasilkan respons produksi liur.

Prosedu
r ini dimana sebuah stimulus netral menjadi sebuah stimulus yang terkondisi disebut sebagai kondisioning klasik (classical conditioning), atau disebut juga sebagai kondisioning Pavlov atau kondisioning responden. Dan semenjak era Pavlov, banyak dari respons otomatis atau yang sifatnya bekerja di luar kehendak kita, selain sekresi air liur, dipelajari dengan metode kondisioning klasik, misalnya detak jantung, tekanan darah, gerak reflek, berkedip dan kontraksi otot.

*Penulis adalah mahasiswa FISIP UB Program Studi Psikologi
dan  merupakan kader HMI K ISIP Brawijaya

Jumat, 07 September 2012

RESENSI NOVEL : TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK

Oleh : Rosalia I.P.*


Judul                : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis             : Ahmad Tohari
Tebalbuku         : 408 halaman
Penerbit            : PT GramediaPustakaUtama
Cetakan            : 2009

Dalam buku ini Ahmad Tohari berhasil membawa pembaca kesebuah dunia dimana konflik sosial dan moralitas masih begitu kacau. Dimana dinamika kehidupan seorang ronggeng dan segala keprihatinan yang ada di Dukuh Paruk menjadi fokusnya dalam novel ini. Sang penulis mengemas kisah di dalamnya dengan sangat apik yang diperlihatkan melalui susunan kata yang di rangkai sanggup membuat pembaca begitu terpesona akan gaya bahasa yang dia gunakan. Selain itu kentalnya budaya jawa di novel ini menunjukan betapa penulis memang sangat ahli dan berpengetahuan mengenai budaya jawa yang lambat laun mulai memudar kekentalannya oleh masyarakat jawa sendiri.

Novel ini berkisah mengenai Srintil seorang gadis belia yang cantik, dimana dia masih belum mengenal lelaki pada hakikatnya. Srintil gadis yang cantik khas pendukuhan tersebut harus serta merta melepaskan kebebasan dan haknya sebagai remaja ketika diketahui indang ronggeng telah mendiami tubuhnya, semua ini dipercaya sebagai takdir, maka takdir tak dapat ditentang selain harus menjalaninya. Maka Srintil menjadilah seorang ronggeng yang begitu cantik dengan tubuhnya yang dianggap proposional. Semua orang menginginkan Srintil tanpa terkecuali, tentu saja menginginkan yang dimaksud disini adalah meginginkannya tidak hanya di atas panggung tayub tetapijuga di ranjang.Dihidupnya yang masih sangat belia dia sudah dipaksa oleh keadaan untuk lebih mengenali lelaki lebih jauh.

Konflik demi konflik datang secara alami dalam novel ini dimana Srintil yang sangat mencintai Rasus, tetapi sekali lagi takdir yang membuat mereka tak bisa mengungkapkan perasaan masing-masing sampai pada suatu hari Rasuspergi meninggalkan Dukuh Paruk. Konflik lain pun datang ketika Srintil sudah tak mau melayani laki-laki manapun karena dia menginginkan kehidupan lain yang jauh lebih baik,pandangannya yang sangat bertolak belakang dengan ronggeng-ronggeng sebelumnya ini cukup membuat dinamika kehidupan Dukuh Paruk menjadi sedikit berubah.

Konflik paling memuncak dalam kehidupan Srintil adalah ketika keluguaan warga Dukuh Paruk diperdaya oleh para komunis untuk mencapai kepentingan mereka, dampak dari itu semua komplotan Srintil dalam meronggeng harus ditangkap dan Srintil sendiri ditahan selama beberapa tahun.

Berbagai dinamika yang disuguhkan sungguh sangat menarik, kisah di dalam novel ini sangat terlihat jika Ahmad Tohari ingin menyuguhkan sebuah realita yang dikisahkan melalui tulisan bukan tulisan yang berusaha direalitakan seperti kebanyakan novel remaja sekarang.

Gaya bahasa yang kental dengan sastra dan banyak nuyaung kapan bahasa jawa yang tidak ada penjelasan secara khususnya sedikit memnghambat pembaca untuk mengertiisi novel ini jika benar-benar tidak dipahami saat membacanya kerana menurut saya tipe novel ini bukan seperti novel remaja pada umumnya yang hanyadengansekilas membaca kita akan memahami apa yang dirasa di novel tersebut. Tetapi secara garis besar novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca karena banyak pengetahuan yang akan kita dapat dari dinamika kehidupan Srintil yang berakhir tragis ini.

*Penulis adalah mahasiswa ilmu politik FISIP UB angkatan 2011
dan merupakan kader HmI K ISIP UB

Kamis, 06 September 2012

#MenolakLupa


Oleh : Didit Haryadi*
Menolak Lupa sewindu kasus kematian Munir (7 September 2004) 
Masalah kemanusiaan sudah ada dan muncul sejak manusia berada di Bumi dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah peradaban manusia. Banyak negara-negara didunia yang menjunjung tinggi keberadaan hak azasi manusia sebagai agenda utama dan harus menjadi isu global yang harus segera diselesaikan.
Republik merah putih yang berhasil memerdekakan diri sejak 17 Agustus 1945 silam aalah salah satu bangsa yang memiliki catatan “gelap” tentang penegakan hak azasi manusia bagi kaum minoritas. Negeri ini juga terkadang mempraktikkan drama pelegalan otoritas untuk pelanggengan kekuasaan (status quo). Hal tersebut banyak terjadi pada rezim orde baru dan akhirnya menemui titik jelas pada 1998 yakni dengan hadirnya ode yang semoga saja tidak telat, Reformasi. Meskipun hingga kini masih terus saja berupaya menjadi lebih baik dan menyembuhkan luka yang terlampau bercampur dalam darah seraya mendesir sebagai sebuah dendam. 
Deretan angka, fakta, dan sejarah tentang pengekangan terhadap HAM di Indonesia sudah menjadi tinta sejarah yang telah tertanam dalam ingatan hingga anak cucu kelak. Namun, ada sosok seorang warga sipil yang sangat berani untuk memperjuangkan HAM bagi kaum minoritas dan mereka yang terpinggirkan. Sosok itu bernama Munir Said Thalib.
Pejuang HAM Indonesia

Munir dikenal sangat lantang dalam menyuarakan ketidakadilan bagi kaum minoritas dan menjadikannya sangat disegani oleh orang-orang ataupun kelompok yang mungkin saja tidak menyukainya. “Tak pernah terdengar ia merasa letih. Mungkin sebab ia tahu, di tanah air ini harapan sering luput dari pegangan, dan ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat, seakan-akan berseru, “Jangan kita jatuh ke dalam kelam!” (Goenawan Mohammad).

Seruan untuk #MenolakLupa tentang pasca misteri kematian Munir pada 7 September 2004 terus didengungkan dan diperjuangkan oleh mereka yang peduli tentang penegakan HAM. Mereka menyerukan dan berdo’a seraya berharap akan segera hadir kejelasan tentang dalang dan pelaku pembunuhan Munir yang terjadi Di Udara pada sewindu yang lalu. Munir diracun Di Udara saat perjalanan dari Jakarta  menuju Amsterdam (Belanda). Saat itu Munir berangkat ke Belanda untuk menempuh studi S2 bidang hukum di Utrecht. Beberapa pelaku telah dihukum. Namun dalang utama dibalik konspirasi besar kasus kematian Munir sampai saat ini belum juga terungkap, termasuk keengganan penguasa di negeri merah putih untuk segera menuntaskan kasus tersebut. 

Membangun Kohesifitas Antar Etnis Melalui Media Massa

Oleh: Abdul Hair*

Pendahuluan: Antara Budaya dan Media
Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang terintegrasi. Tanpa komunikasi kebudayaan apapun akan mati. Maka diskursus budaya harus melibatkan studi komunikasi, sebab penciptaan, pemeliharaan, ataupun dekonstruksi budaya berlangsung melalui aktivitas komunikasi dengan menggunakan media, termasuk media massa.

Pada masyarakat-masyarakat etnik tradisional, media komunikasi yang berperan sebagai penyampai informasi adalah upacara. Informasi yang disampaikanpun masih terbatas pada sistem kepercayaan, sistem pertanian, ataupun sistem kekerabatan. Dalam perkembangannya, wahana utama untuk menyampaikan semua informasi itu bergeser pada media kesenian, seperti teater, tarian, musik, kesusastraan, seni rupa, dan arsitektur.

Dalam kehidupan masyarakat kontemporer, media massa memegang peranan penting dalam kehidupan berbudaya. Media massa tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk budaya itu sendiri. Informasi-informasi dari realitas empiris yang disajikan media telah didesain sedemikian rupa hingga membentuk realitasnya sendiri (realitas media). Celakanya, banyak orang yang terjebak dalam dikotomi ini, dalam artian tidak bisa memisahkan antara realitas media dengan realitas empiris. Hal ini terjadi akibat khalayak menganggap media massa memiliki kredibilitas tinggi dalam merepresentasikan fakta yang ada.

Realitas media merupakan “desain ulang” realitas empiris yang dilakukan oleh “produser” informasi. Desain ulang terjadi karena adanya “mitos” yang menyatakan bahwa khalayak sangat menyukai informasi yang bombastis. Informasi yang bombastis akan mendatangkan banyak khalayak, dan khalayak banyak akan mendatangkan keuntungan yang besar. Maka tidak berlebihan jika dikatakan realitas media muncul akibat adanya komodifikasi informasi. Jika dianalogikan, ketika dalam realitas empiris yang terjadi hanya 1A, maka dalam realitas media yang terjadi adalah 1,5A.

Yang mungkin tidak disadari banyak pihak adalah, realitas media ini mempunyai potensi menimbulkan konflik, khususnya konflik antar etnis. Ketika terdapat penyampaian informasi yang berlebihan, ketimpangan informasi, apalagi sampai mendistorsi informasi, maka pada saat itulah potensi konflik akan muncul. Hal ini terjadi akibat ada pihak-pihak (etnis) yang merasa dirugikan dengan penyampaian informasi ini. Bentuknya beragam, reaksinya bisa mengarah kepada media yang menginformasikan, atau kepada pihak (etnis) lain.

Berangkat dari kerangka berpikir diatas, tulisan ini akan memaparkan signifikansi media dalam kohesifitas antar etnis, dan karena tulisan ini merupakan pandangan hipotetik penulis, maka pembuktiannya perlu dilakukan dalam bentuk penelitian lebih lanjut.

Orientasi Media Massa

Secara umum, orientasi dari media massa ada tiga, condong pada pemerintah, provit oriented, atau berorientasi pada publik. Media yang condong pada pemerintah umumnya adalah media buatan pemerintah sendiri, selalu menyampaikan kegiatan ataupun agenda yang telah dicapai pemerintah. Contoh dari media ini adalah TVRI, walaupun terkadang TVRI juga menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah.

Media massa yang kedua adalah yang berorientasi pada keuntungan (provit oriented). Media massa ini, utamanya televisi swasta, lebih melayani kebutuhan-kebutuhan komersial nasional dan global. Lebih berorientasi pada keuntungan akibat televisi swasta dalam membuat sebuah program siaran membutuhkan biaya yang besar. Agar modal dari program siaran ini bisa kembali sekaligus mendapatkan keuntungan, maka televisi swasta sangat bergantung pada iklan komersial yang tayang pada televisi mereka. Yang kemudian menjadi persoalan adalah, tidak semua perusahaan mau menayangkan iklan komersialnya pada televisi swasta yang mempunyai jumlah penonton sedikit. Untuk menyiasati hal ini, televisi swasta cenderung memproduksi program siaran hiburan.

Program siaran hiburan banyak digemari masyarakat Indonesia karena beberapa faktor. Yang pertama karena masih banyaknya masyarakat Indonesia yang hidup susah. Mereka tidak memunyai hiburan lain selain yang ada pada televisi, karena memang akses untuk mendapatkan hiburan di luar rumah itu relatif mahal bagi mereka. Maka televisilah yang menjadi jalan keluarnya. Yang kedua, masih banyak masyarakat Indonesia yang berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang rendah juga berkorelasi dengan tingkat kognisi yang rendah. Maka ketika televisi swasta nasional menayangkan program siaran “berat,” masyarakat cenderung untuk tidak menontonnya. Yang ketiga adalah masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan budaya membaca, padahal lewat membacalah kita bisa mendapatkan informasi yang berbobot. Ketika media cetak mulai masuk ke Indonesia awal 1900-an, dan budaya membaca belum terbentuk dengan sempurna, masyarakat indonesia telah kedatangan media yang lebih praktis untuk mendapatkan informasi, yaitu radio dan televisi. Bandingkan dengan negara-negara barat yang tetap mempertahankan budaya membaca meskipun terdapat media lain yang lebih praktis untuk mendapatkan informasi. Ini wajar, sebab ketika budaya membaca telah terbentuk sempurna di sana, baru kemudian media-media baru bermunculan.

Rabu, 05 September 2012

Metamorfosa Dalam Bahasa

Oleh : Didit Haryadi*

“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. (Bunda, 138)  – Bumi Manusia, Paramoedya Ananta Toer

Kutipan yang saya ambil dalam novel Bumi Manusia tersebut setidaknya mampu membuka hati dan pikiran kita tentang bagaimana idelanya seorang manusia dalam menempuh ilmu dan tidak mengorbankan hak orang lain, terlepas itu dari kepemilikan materi yang sah secara pribadi namun secara tidak sadar kita telah membuat batas yang cukup jauh antara kelas sosial yang ada disekitar kita.

Baru sepekan rasanya kembali ke Kota “Apel” yang dahulu menyimpan banyak cerita tentang dunia kampus dan setumpuk balada kehidupan tentang anak manusia yang hilir mudik tak tentu arah sembari mencari jati diri dan mungkin pengakuan atas nama manusia yang seutuhnya melalui mental pendidikan atas label yang melekat pada subyek diri secara pribadi sebagai seorang mahasiswa.

Pagi ini tak terasa mentari kembali menyapa fajar yang tak mungkin terbendung oleh kesibukan manusia dalam menapaki rutinitas yang semoga saja tidak menjenuhkan. Tepat jam 6 pagi, seorang kawan bergegas keluar kamar dan mengambil langkah cepat untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN), sembari berharap akan lulus dan diterima pada jurusan dan perguruan tinggi negri yang diimpikan.

Ok, saya ingin sedikit membawa anda, dia, kalian, ataupun mereka untuk sedikit memutar mundur memori tentang pelaksanaan ujian yang secara legalitas ini merupakan gerbang awal untuk masuk ke perguruan tinggi negri. Pertama, tidak bisa dipungkiri bahwa era pemerintahan Politik di Indonesia (meskipun secara pribadi, saya tidak tertarik dengan kajian politik) mengalami metamorfosa yang cukup beragam dan seakan secara otomatis telah merubah sistem kehidupan sosial masyarakat kita. Masih ingat dengan Mr.Soeharto???ya, tentu saja, kita tidak akan pernah lupa hingga anak, cucu, dan cicit kita tentang sosok jenderal yang fenomenal dan masuk kategori sebagai penjahat HAM itu, hingga akhirnya ia didaulat sebagai bapak pembangunan..huh??siapa gerangan yang membangun sistem dan terminologi patronase tersebut???silahkan tanyakan kembali pada sejarawan Indonesia. Yang pasti, selama masa pemerintahannya yang dikenal dengan era Orde Baru telah mampu membungkam rakyat hingga tak berdaya menghadapi system oligarki yang dibangunnya dan bermuara pada membengkaknya hutang Indoensia hingga saat ini!! Belum lagi penyakit sosial yang luar biasa tak berperikemanusiaan yakni korupsi telah membudaya dalam sistem pemerintahan ini. Saya sangat tertarik dengan kutipan wawancara seorang penulis bersama Pramoedya Ananta Toer, “mempunyai karakter” Ya itulah, Ironis!!yang membiayai pembangunan mesjid, gereja, vihara, dan sebagainya itu biasanya para koruptor, supaya impas dosanya , itu budaya bukan politik. Korupsi itu sudah budaya Indonesia. Dulu namanya upeti, sekarang korupsi. Nah, korupsi itu seumbernya karena Indonesia gak terdidik untuk berproduksi, hanya berkonsumsi saja. Pengalaman berproduksi itu yang akan membikin orang mempunyai karakter”.

Pendidikan di Indonesia mengalami metamorfosa yang luar biasa tak menentu dan penyesuaian atas nama kebijakan demi pencerdasan sebagai amanat konstitusi UUD 1945 yang sacral. Benarkah sudah tercapai??? Ini tidak perlu diperdebatkan, buku, fasilitas, dan kemampuan sumber daya manusia sudah menjadi representasi atas pertanyaan itu.

Resensi Buku : The Alchemist



Siapa yang tidak pernah bermimpi? Terkadang kita merasakan mimpi seperti nyata, bahkan ada yang benar-benar menjadi nyata. Itulah yang dialami oleh seorang pengembala domba yang tinggal di Andalusia. Berawal dari mimpinya tentang harta karun membuatnya merantau menelusuri banyak negara. Di perjalanannya ia menemukan banyak orang yang memberinya motivasi untuk melanjutkan mimpinya. Hitam Putih perjalanannya terus berlanjut hingga cerita berakhr dengan bahagia. Layaknya novel lain, dalam karya Paulo Coelho ini juga disisipkan kisah cinta dari tokoh utama. Namun sedikit berbeda, dengan ceritanya yang mengisahkan kematangan cinta, bukan sekedar cinta-cintaan yang banyak dikisahkan novel lain.

Diksi yang digunakan penuh dengan unsur semiotika, namun dengan pengemasan yang cukup sederhana sehingga mudah dimengerti dan dapat membawa pembaca ke dalam alur ceritanya. Memang bukan cerita yang penuh teka-teki sulit ditebak, karena ketika membacanya, saya pun memiliki asumsi sendiri tentang endingceritanya. Namun proses menuju ending tersebutlah yang menjadi inti di novel ini. Bagaimana Santiago, si pengembala domba tersebut cara menghadapi sebuah pilihan, mengatasi masalah, hingga berisi tentang bagaimana seseorang harus memaknai cinta. Sedikit fiktif namun dapat membuat pembaca terenyuh.

Novel ini dipenuhi dengan pesan-pesan moral tentang kehidupan yang dikemas dalam bentuk kutipan-kutipan bijak (bisa di lihat di bagian paling bawah). Cocok untuk orang yang sering berkecimpung d jejaring sosial (sering update status, justkid :p ). Pesan-pesan yang disampaikan sedikit banyak dapat menginspirasi kita. Dari situlah Paulo Coelho kaya akan apresiasi, meski tak membuatnya luput dari kiritikan atas karyanya yang beberapa bagian certanya dinilai mirip dengan karya penulis lain.

Buku ini diterbitkan th. 1998 di Brasil dalam bahasa Portugis. Pada th. 1993, buku ini hadir dengan bahasa Inggris. Dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia serta diterbitkan secara resmi oleh Gramedia di tahun 2006.

Untuk para mahasiswa yang males baca buku, buku ini recommended bangetttt..

Quote of The Alchemist :

"Mengapa kita harus mendengarkan kata hati kita? Sebab dimana hatimu berada disanalah hartamu berada" 

"Rahasia kebahagiaan adalah dengan menikmati segala hal menakjukan di dunia ini, tanpa pernah melupakan tetes-tetes air di sendokmu." 

"Karena itulah aku ingin kau meneruskan mencari impianmu. Kalau kau merasa harus menunggu sampai perang berakhir, tunggulah. Tapi kalau kau merasa harus pergi sekarang juga, pergilah mengejar mimpimu. Bukit-bukit pasir ini senantiasa berubah dihembus angin, akan tetapi padang gurun itu tak pernah berubah. Begitu pula cinta kita." 

"Kau harus mengerti, cinta tak pernah menghalangi orang mengejar takdirnya. Kalau dia melepaskan impiannya, itu karena cintanya bukan cinta sejati... bukan cinta yang berbicara Bahasa Dunia." 

"Sebab aku tidak hidup di masa lalu ataupun di masa depan. Aku hanya tertarik pada saat ini. Berbahagialah orang yang bisa berkonsentrasi hanya untuk saat ini. Hidup ini akan terasa seperti sebuah pesta bagimu, sebuah festival meriah, sebab hidup ini adalah saat yang kita jalani sekarang ini." 

Dan masih banyak lagi.. :D :D :D :D

Sumber : http://actifree.blogspot.com/2012/08/resensi-alchemist.html

Liberalisme Dan Patriakarlisme

Oleh : Eki Sulisityo*

            
Benn dan Gaus’s memperhitungkan konsep liberalism mengenai publik dan private telah menilustrasikan dengan baik beberapa masalah pokok dalam teori liberal. Mereka menerima bahwa private dan publik adalah kategori pokok dalam dari liberalism, tetapi mereka tidak menjelaskan kenapa dua istilah ini rumit atau mengapa lapisan ‘private’ kontras dan berlawanan terhadap ‘publik’ daripada terhadap ‘dunia politik’. Penilaian liberalism oleh Benn dan Gaus juga mengilustrasikan keabstraknya, karaktek secara historis dan, apa yang dibenarkan dan dihilangkan, menyediakan contoh yang bagus dari diskusi secara teori yang dikritik secara tajam oleh para feminis.


Istilah ‘ideologi’ sesuai untuk digunakan disini karena adanya ambigu dalam konsep liberal mengenai privte dan publik yang kabur dan menajubkan membantu untuk mendasari hal tersebut. Para feminis berargumen bahwa liberalism tersusun oleh patriarkal seperti halnya hubungan kelas, dan bahwa itu dikotomi antara private dengan publik yang mengaburkan subjektivitas antara perempuan dengan laki-laki di dalam sesuatu yang universal, paham persamaan, dan kepentingan pribadi. Benn dan Gaus menasumsikan bahwa realita kehidupan sosial kita adalah lebih atau kurang cukup menangkap konsep liberalsm. Mereka tidak mengenali bahwa liberalism adalah liberalism patriakal dan itu adalah pemisahan dan pembedaan antara perempuan dengan laki-laki, mereka hanya mengamsumsikan sebagai individualism dalam konsep liberal.

Salah satu alasan mengapa hasil ini tidak di perhatikan adalah bahwa pemisahan antara private dan publik telah ada dalam teori liberal seperti jika ini diterapkan pada semua individu dengan jalan yang sama. Ini sering di klaim - oleh para anti-feminis masa kini, tetapi oleh para ferminis abab 19, kebanyakan menerima doktrin ‘lapisan pemisah’- bahwa dua lapisan tersebut adalah terpisah, tetapi sama-sama penting dan berharga. Cara dimana perempuan dan laki-laki dibedakan terletak pada kehidupan individu dan dunia publik


*Penulis adalah mahasiswa FIA UB 2008
Juga merupakan Anggota 
HMI Komisariat FIA Brawijaya