Jumat, 21 September 2012

BBM yang Naik Lagi


Oleh : M. Fatkhurrahman (Nanang)*

Indonesia merupakan negara yang bisa dikatakan kaya raya dalam hal SDA (sumber daya alam) mulai dari rempah-rempah, hasil tambang, hasil laut dan sebagainnya. Negara mana yang tidak mengenal indonesia dengan kekayaan yang melimpah ruah, seharusnya dengan modal kekayaan yang dimilikinya, manusia yang ada dibumi indonesia ini bisa merasakan kebahagiaan dengan tercukupi kebutuhannya. Melihat kenyataan seperti itu, siapa saja akan menggeleng-gelengkan kepala kalau indonesia menaikan BBM. Kenaikan BBM (bahan bakar minyak) di negara indonesia akan menimbulkan banyak permasalahan, baik itu masalah primer, sekunder bahkan ketertiban sosial. Keadaan ini terlihat dari setiap naiknya BBM, tidak terkecuali pada sekarang ini di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakilnya Budiono. Saat ini saja, kita tahu bahwasannya kebijakan tentang BBM bukan ditolak atau sepakat tetapi “ dipending ” bukan berati ini tidak naik, akan tetapi sangat amat berpotensi untuk naik, sehingga segala konsekwensi apapun harus diterima, baik itu aktor yang menolak keras BBM naik ataupun aktor yang berusaha keras agar BBM naik.

Hari ini saja harga-harga sudah naik, baik itu bahan pokok, padahal BBM belum naik. Dalam analisis saya, ini sangat amat wajar kalau ada aktor yang menolak dan setuju, karena asumsi yang diutarakan itu berlandaskan pada informasi dan apa yang diyakininya, sehingga ini bukan ranah antara benar dan salah, tetapi antara tepat dan tidak tepat. Pada dasarnya interpretasi dalam permasalahan kenaikan BBM, itu ditujukan agar mendekati keinginannya, sangat amat wajar kalaupun perbedaan pandangan ini bisa saya umpamakan antara langit dan bumi. Disini ada dua aktor, yaitu pemerintah dan raktyat, dalam pembahasan yang pertama dari sudut pandang rakyat setelah itu dari pandangan pemerintah.

Menganalisis masalah ini, dengan menggunakan Game Theory yaitu Battel of Sexes, dimana pertama akan ada kesepakan bersama, tetapi dalam eksekusi pelaksanaan terjadi perbedaan pendapat, disinilah permainan game theory dimulai. Kesepakatan awal yaitu pemerintah dan rakyat sepakat bahwasannya dalam menentukan kebijakan harus memihak rakyat bukan pihak asing, apalagi kepada pihak yang mempunyai kepentingan terhadap indonesia. Kesepakatan awal ini karena tugas pemerintah adalah melakukan aktifitas untuk kepentingan rakyat bukan pihak asing, dan rakyat sebagai objeknya. Mengenai masalah BBM pandangan rakyat seperti ini, pertama dengan keadaan sekarang banyak rakyat tidak bisa membeli BBM, ini dikarenakan daya beli masyarakat indonesia terhadap BBM masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain.

Meskipun harga BBM lebih murah dibandingkan negara-negara lain, akan tetapi harga tersebut relatif mahal bila dibandingkan dengan pendapatan kotor per kapita yang masih jauh dibanding negara-negara lain. Apalagi total premium yang dikonsumsi oleh rumah tangga, 64 persennya dikonsumsi oleh sepeda motor, sedangkan untuk mobil hanya 36 persen ( World Bank). Mengingat sebagian besar pemilik sepeda motor adalah masyarakat kelas menengah kebawah, maka berarti selama ini sebagian terbesar subsidi premium ( 64 persen ) dikonsumsi oleh kelompok kelas menengah dan bawah, bukan oleh kelompok kelas atas. Argumen tersebut didukung dengan data susenas BPS menunjukan bahwa 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh masyarakat kelompok miskin dan menengah bawah ( pengeluaran per kapita < 4 dollar AS ). Termasuk didalamnya ( 2 dollar AS ). Sementara kelompok rumah tangga menengah atas hanya mengonsumsi 8 persen dari seluruh bensin.

Kenaikan harga BBM akan memangkas daya beli masyarakat kelas menengah bawah. Kenaikan harga BBM juga akan memangkas daya saing industri nasional akibat menurunnya produktifitas industri, akibatnya pengusaha akan melakukan efisiensi dengan melakukan PHK buruh. Mendorong untuk naiknya harga-harga ( sembako, transportasi, dll ). Beban berat bagi petani karena kenaikan biaya produksi pertanian ( benih, pupuk, harga sewa tanah, sewa traktor dan pompa air juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan padi dan ongkos angkut atau transportasi ). Beban berat bagi nelayan diakibatkan meningkatnya biaya produksi yang akan dikeluarkan nelayan, dimana total biaya pembelian BBM mencapai 50-60 persen dalam satu kali melaut. Jika hal tersebut terjadi, nilai biaya yang akan ditanggung oleh perekonomian nasional akan lebih besar ketimbang perolehan dari penghematan subsidi BBM.


*Penulis adalah mahasiswa FISIP UB Program Studi Ilmu Politik angkatan 2010
dan merupakan kader HMI K ISIP Brawijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar