Oleh : Didit Haryadi*
Menolak Lupa sewindu kasus kematian Munir (7 September 2004)
Masalah kemanusiaan
sudah ada dan muncul sejak manusia berada di Bumi dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam sejarah peradaban manusia. Banyak negara-negara didunia yang
menjunjung tinggi keberadaan hak azasi manusia sebagai agenda utama dan harus
menjadi isu global yang harus segera diselesaikan.
Republik
merah putih yang berhasil memerdekakan diri sejak 17 Agustus 1945 silam aalah
salah satu bangsa yang memiliki catatan “gelap” tentang penegakan hak azasi
manusia bagi kaum minoritas. Negeri ini juga terkadang mempraktikkan drama
pelegalan otoritas untuk pelanggengan kekuasaan (status quo). Hal
tersebut banyak terjadi pada rezim orde baru dan akhirnya menemui titik jelas
pada 1998 yakni dengan hadirnya ode yang semoga saja tidak telat, Reformasi.
Meskipun hingga kini masih terus saja berupaya menjadi lebih baik dan
menyembuhkan luka yang terlampau bercampur dalam darah seraya mendesir sebagai
sebuah dendam.
Deretan
angka, fakta, dan sejarah tentang pengekangan terhadap HAM di Indonesia sudah
menjadi tinta sejarah yang telah tertanam dalam ingatan hingga anak cucu kelak.
Namun, ada sosok seorang warga sipil yang sangat berani untuk memperjuangkan
HAM bagi kaum minoritas dan mereka yang terpinggirkan. Sosok itu bernama Munir
Said Thalib.
Pejuang HAM Indonesia
Munir dikenal sangat lantang dalam
menyuarakan ketidakadilan bagi kaum minoritas dan menjadikannya sangat disegani
oleh orang-orang ataupun kelompok yang mungkin saja tidak menyukainya. “Tak
pernah terdengar ia merasa letih. Mungkin sebab ia tahu, di tanah air ini
harapan sering luput dari pegangan, dan ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat,
seakan-akan berseru, “Jangan kita jatuh ke dalam kelam!” (Goenawan Mohammad).
Seruan untuk
#MenolakLupa tentang pasca misteri kematian Munir pada 7 September 2004 terus
didengungkan dan diperjuangkan oleh mereka yang peduli tentang penegakan HAM.
Mereka menyerukan dan berdo’a seraya berharap akan segera hadir kejelasan
tentang dalang dan pelaku pembunuhan Munir yang terjadi Di Udara pada sewindu
yang lalu. Munir diracun Di Udara saat perjalanan dari Jakarta menuju
Amsterdam (Belanda). Saat itu Munir berangkat ke Belanda untuk menempuh studi
S2 bidang hukum di Utrecht. Beberapa pelaku telah dihukum. Namun dalang utama
dibalik konspirasi besar kasus kematian Munir sampai saat ini belum juga
terungkap, termasuk keengganan penguasa di negeri merah putih untuk segera menuntaskan
kasus tersebut.
Semoga bangsa ini tidak tidur lelap dalam balutan dosa atas
penegakan HAM yang belum sepenuhnya tuntas. Bangsa ini tidak bodoh! Bangsa ini
sepenuhnya paham tentang dalang dibalik konspirasi besar ini, dan upaya untuk
menuntaskan kasus Munir harus mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah.
Mungkin kelompok yang masih peduli untuk terus #MenolakLupa dalam
penuntasan kasus Munir akan terus berjuang hingga menemui titik terang yang
sebenarnya. Mereka tidak akan pernah tidur dan terus Membaca Gejala Dari
Jelaga.
“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan
kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya . (Minke, 135) – Bumi Manusia
(Pramoedya Ananta Toer)
Aku sering diancam juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan sampai di
mana kapan
Ku bisa tenggelam di lautan aku
bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar
jalan
tapi aku tak pernah mati tak
akan berhenti
Aku sering diancam juga teror
mencekam
Ku bisa dibuat menderita aku
bisa dibuat tak bernyawa
di kursi-listrikkan ataupun
ditikam
tapi aku tak pernah mati tak
akan berhenti
tapi aku tak pernah mati tak
akan berhenti
Ku bisa dibuat menderita aku
bisa dibuat tak bernyawa
di kursi-listrikkan ataupun
ditikam
Ku bisa tenggelam di lautan aku
bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar
jalan
tapi aku tak pernah mati
tak akan berhenti
(Di Udara – Efek Rumah Kaca)
*Penulis
adalah mahasiswa FISIP Angkatan 2005
alumni
HMI K ISIP UB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar