Kamis, 06 September 2012

Membangun Kohesifitas Antar Etnis Melalui Media Massa

Oleh: Abdul Hair*

Pendahuluan: Antara Budaya dan Media
Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang terintegrasi. Tanpa komunikasi kebudayaan apapun akan mati. Maka diskursus budaya harus melibatkan studi komunikasi, sebab penciptaan, pemeliharaan, ataupun dekonstruksi budaya berlangsung melalui aktivitas komunikasi dengan menggunakan media, termasuk media massa.

Pada masyarakat-masyarakat etnik tradisional, media komunikasi yang berperan sebagai penyampai informasi adalah upacara. Informasi yang disampaikanpun masih terbatas pada sistem kepercayaan, sistem pertanian, ataupun sistem kekerabatan. Dalam perkembangannya, wahana utama untuk menyampaikan semua informasi itu bergeser pada media kesenian, seperti teater, tarian, musik, kesusastraan, seni rupa, dan arsitektur.

Dalam kehidupan masyarakat kontemporer, media massa memegang peranan penting dalam kehidupan berbudaya. Media massa tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk budaya itu sendiri. Informasi-informasi dari realitas empiris yang disajikan media telah didesain sedemikian rupa hingga membentuk realitasnya sendiri (realitas media). Celakanya, banyak orang yang terjebak dalam dikotomi ini, dalam artian tidak bisa memisahkan antara realitas media dengan realitas empiris. Hal ini terjadi akibat khalayak menganggap media massa memiliki kredibilitas tinggi dalam merepresentasikan fakta yang ada.

Realitas media merupakan “desain ulang” realitas empiris yang dilakukan oleh “produser” informasi. Desain ulang terjadi karena adanya “mitos” yang menyatakan bahwa khalayak sangat menyukai informasi yang bombastis. Informasi yang bombastis akan mendatangkan banyak khalayak, dan khalayak banyak akan mendatangkan keuntungan yang besar. Maka tidak berlebihan jika dikatakan realitas media muncul akibat adanya komodifikasi informasi. Jika dianalogikan, ketika dalam realitas empiris yang terjadi hanya 1A, maka dalam realitas media yang terjadi adalah 1,5A.

Yang mungkin tidak disadari banyak pihak adalah, realitas media ini mempunyai potensi menimbulkan konflik, khususnya konflik antar etnis. Ketika terdapat penyampaian informasi yang berlebihan, ketimpangan informasi, apalagi sampai mendistorsi informasi, maka pada saat itulah potensi konflik akan muncul. Hal ini terjadi akibat ada pihak-pihak (etnis) yang merasa dirugikan dengan penyampaian informasi ini. Bentuknya beragam, reaksinya bisa mengarah kepada media yang menginformasikan, atau kepada pihak (etnis) lain.

Berangkat dari kerangka berpikir diatas, tulisan ini akan memaparkan signifikansi media dalam kohesifitas antar etnis, dan karena tulisan ini merupakan pandangan hipotetik penulis, maka pembuktiannya perlu dilakukan dalam bentuk penelitian lebih lanjut.

Orientasi Media Massa

Secara umum, orientasi dari media massa ada tiga, condong pada pemerintah, provit oriented, atau berorientasi pada publik. Media yang condong pada pemerintah umumnya adalah media buatan pemerintah sendiri, selalu menyampaikan kegiatan ataupun agenda yang telah dicapai pemerintah. Contoh dari media ini adalah TVRI, walaupun terkadang TVRI juga menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah.

Media massa yang kedua adalah yang berorientasi pada keuntungan (provit oriented). Media massa ini, utamanya televisi swasta, lebih melayani kebutuhan-kebutuhan komersial nasional dan global. Lebih berorientasi pada keuntungan akibat televisi swasta dalam membuat sebuah program siaran membutuhkan biaya yang besar. Agar modal dari program siaran ini bisa kembali sekaligus mendapatkan keuntungan, maka televisi swasta sangat bergantung pada iklan komersial yang tayang pada televisi mereka. Yang kemudian menjadi persoalan adalah, tidak semua perusahaan mau menayangkan iklan komersialnya pada televisi swasta yang mempunyai jumlah penonton sedikit. Untuk menyiasati hal ini, televisi swasta cenderung memproduksi program siaran hiburan.

Program siaran hiburan banyak digemari masyarakat Indonesia karena beberapa faktor. Yang pertama karena masih banyaknya masyarakat Indonesia yang hidup susah. Mereka tidak memunyai hiburan lain selain yang ada pada televisi, karena memang akses untuk mendapatkan hiburan di luar rumah itu relatif mahal bagi mereka. Maka televisilah yang menjadi jalan keluarnya. Yang kedua, masih banyak masyarakat Indonesia yang berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang rendah juga berkorelasi dengan tingkat kognisi yang rendah. Maka ketika televisi swasta nasional menayangkan program siaran “berat,” masyarakat cenderung untuk tidak menontonnya. Yang ketiga adalah masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan budaya membaca, padahal lewat membacalah kita bisa mendapatkan informasi yang berbobot. Ketika media cetak mulai masuk ke Indonesia awal 1900-an, dan budaya membaca belum terbentuk dengan sempurna, masyarakat indonesia telah kedatangan media yang lebih praktis untuk mendapatkan informasi, yaitu radio dan televisi. Bandingkan dengan negara-negara barat yang tetap mempertahankan budaya membaca meskipun terdapat media lain yang lebih praktis untuk mendapatkan informasi. Ini wajar, sebab ketika budaya membaca telah terbentuk sempurna di sana, baru kemudian media-media baru bermunculan.

Media massa yang ketiga adalah media yang berorientasi pada publik. Media seperti ini benar-benar memberikan edukasi pada masyarakat melalui sajian informasi yang ditampilkan, sekaligus menjaga, memelihara, dan mengisi ruang publik dalam dimensi kultural. Ini dibedakan dari media televisi yang menjalankan fungsi imperatif untuk memenuhi kepentingan pragmatis publik, atau fungsi subyektif pemilik media untuk kepentingan kekuasaan negara atau pasar. Media publik tidak boleh bergerak atas dorongan fungsi subyektif kekuasaan politik, atau bersifat komersial untuk pengembangan modal dan orientasi provit. Sayangnya, belum ada media seperti ini di indonesia.

Media Massa Nasional dan Media Massa Lokal

Di Indonesia, media telah menjadi bagian dari kapitalisme dan globalisasi, jadi amat sangat padat modal dan teknologi. Mereka menjadi bagian dari pemegang hegemoni atau kepanjangan dari dominasi kultural suatu lapisan masyarakat. Satu suprakultur. Tidak mengherankan jika banyak media massa yang bersikap sok tahu, karena memang memiliki kekayaan yang jauh lebih besar ketimbang kaum awam. Beberapa pakar bahkan menyebut televisi sebagai paedocraticregime, yang menandaskan dominasi budaya televisi dibanding budaya masyarakat pemirsanya. Dalam berbagai acara mereka, mereka mau mengajari masyarakat. Artinya, bila media itu didirikan oleh suatu komunitas, maka media itu akan mengukuhkan dominasi kultural dari masyarakat lapis atasnya sebagai pemegang hegemoni. Siaran televisi jadi dianggap sebagai imposisi kebudayaan.

Ketika televisi nasional memroduksi sinetron dengan ciri Jakarta-sentrisnya, maka seolah-olah Indonesia ini hanya Jakarta saja. Walaupun lokasi pengambilan gambarnya di luar Jakarta, tetapi aksen Jakarta tetap mendominasi tayangan tersebut.

Dalam sebuah sinetron ditampilkan bagaimana seorang wanita Jawa dengan pakaian serta dialek khas jawanya merantau ke Jakarta untuk mencari kerja. Ketika telah sampai di ibu kota, dan wanita tersebut mulai berkenalan dengan masyarakat, banyak orang yang kemudian menganggap wanita Jawa tersebut kuno, katro, ataupun ndeso. Wanita itu sering diejek karena dianggap tidak modern.

Ketika dia melamar pekerjaan keberbagai perusahaan, semua perusahaan tersebut menolaknya dengan alasan wanita tersebut tidak sesuai kriteria yang dicari. Setelah bersusah payah mencari, akhirnya wanita ini mendapatkan pekerjaan juga sebagai clening servis di salah satu hotel. Tapi ternyata setelah mendapat pekerjaan pun, ejekan tidak berhenti menerpanya, justru datang dari temannya sendiri yang berkerja di tempat yang sama. Lambat laun wanita tersebut putus asa dan memutuskan ingin pulang kampung saja. Tiba-tiba datanglah seorang pria, bos wanita itu, menawarkan bantuan. Dan dengan berbagai pertimbangan akhirnya wanita tersebut menerima tawaran pria tadi.

Maka dilakukanlah proses make over pada wanita ini, pakaian khas jawanya ditanggalkan, diganti dengan stelan pakaian yang terkesan elegan. Wanita itupun lalu ikut kursus kepribadian, diajarkanlah dia bagaimana cara makan, berbicara, dan berinteraksi dengan orang lain. Setelah proses make over ini selesai, jadilah wanita tersebut sebagai “orang yang lain,” yang benar-benar berbeda dari keadaannya semula. Ending dari sinetron ini tentu saja gampang ditebak, wanita itu akhirnya bisa diterima teman seprofesinya dan orang-orang disekitarnya, karena dianggap telah menjadi wanita modern. Serta tidak lupa, wanita itu lalu bertunangan dengan bosnya sendiri.

Distorsi informasi yang disampaikan dalam sinetron tersebut tentunya menimbulkan potensi konflik dalam kehidupan berindonesia. Dalam kehidupan empirik pun banyak ditemui kasus-kasus yang serupa dengan cerita sinetron di atas. Akibat adanya ketimpangan dan distorsi informasi tersebut, masyarakat akhirnya menganggap bahwa budaya urban adalah budaya terbaik, dan budaya-budaya konservatif harus ditinggalkan. Parahnya, banyak orang yang tidak mengerti bahwa apa yang ditampilkan sinetron tersebut adalah realitas media, bukan realitas empirik.

Serbuan televisi swasta nasional telah membentuk paradigma berpikir baru bagi masyarakat yang multi etnis. Karena mayoritas televisi swasta nasional bermarkas di kota metropolis Jakarta, maka serangan budaya metropolis pun menjadi tak terhindarkan. Ini membuat desentralisasi yang dicanangkan pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maka banyak pihak yang menyatakan bahwa kebijakan nasional diijinkannya televisi swasta lokal siaran dalam daya jangkau terbatas adalah suatu strategi budaya yang tepat.

Televisi lokal dalam memproduksi siarannya, tentu saja akan mempertahankan identitas lokalnya, cita rasa lokalnya. Yang ditampilkan adalah berita-berita lokal, kesenian lokal, wisata lokal, bahasa lokal, ataupun struktur masyarakat lokal. Hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ditampilkan di televisi nasional, akan ditampilkan di televisi lokal ini.

Pesan-pesan yang disampaikan melalui media televisi lokal, ternyata mempunyai potensi konflik. Ketika yang ditampilkan adalah identitas lokal, akan terbentuk stereotip khalayak bahwa kebudayaannya adalah yang terbaik. Stereotip ini akan memunculkan pandangan budaya superior, etnis superior. Budaya superior tentunya adalah milik masyarakat superior pula, maka ketika masyarakat menganggap bahwa etnisnya lah yang paling unggul dibanding etnis lain, jelas akan muncul potensi konflik.

Paradoks nilai yang dibawa televisi swasta nasional dengan televisi lokal jelas menjadi ironi tersendiri. Disatu pihak televisi swasta nasional yang notabene berorientasi pada keuntungan, jelas akan menampilkan realitasnya sendiri, tidak peduli apakah ada pihak yang dirugikan atau tidak. Sedangkan televisi lokal dalam penyampaian informasi juga akan berorientasi pada semangat primordialnya, untuk tetap mengukuhkan eksistensinya dalam kehidupan berindonesia.

Media Publik: Strategi Membangun Kohesifitas Antar Etnis

Potensi-potensi konflik yang disebabkan oleh ketimpangan informasi dalam media tersebut harusnya dapat kita hindari. Potensi-potensi tersebut muncul karena  tidak adanya media massa (televisi) yang berorientasi pada publik. Untuk mengejar keuntungan yang besar, maka media pun membentuk realitasnya sendiri, yang tentunya lebih bombastis dari realitas empirik agar bisa menarik banyak khalayak.

Televisi publik adalah televisi yang tidak berpihak pada siapapun dan tidak beroreintasi pada keuntungan. Televisi yang benar-benar memberikan edukasi pada masyarakat, sekaligus menjaga, memelihara, dan mengisi ruang publik dalam dimensi kultural. Dalam penyampaian informasi juga harus proporsional, karena Indonesia adalah negara yang multi etnis, agama, golongan, lapis sosial, desa-kota, pertanian-industri, sakral-profan, bahkan lelaki-perempuan.

Semangat media publik merupakan refleksi dari semboyan sakral negeri ini, yang telah dikumandangkan berabad-abad yang lalu, bhineka tunggal ika. Bagaimana kemudian media ini mentransformasikan pesan-pesan yang justru tidak mensuperiorkan etnis tertentu, tetapi memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, bahwa diantara budaya tersebut tidak ada yang lebih unggul, dan perbedaan budaya ini haruslah diterima sebagai suatu keniscayaan. Ini sejalan dengan salah satu fungsi media massa yang tidak banyak orang menyadarinya,  yaitu kemampuannya membuat kita merasa menjadi anggota suatu kelompok.

Media lokalpun juga harus demikian. Walaupun dalam penyampaian informasi tetap mengutamakan semangat lokal, akan tetapi semangat membangun Indonesia dalam keberagaman tak boleh dilepaskan. Televisi lokal dalam mengedukasi masyarakat jelas menampakkan nilai-nilai kearifan lokal, dan bagaimana nilai kearifan lokal ini diaplikasikan untuk skala yang lebih luas, nasional bahkan global.

Semangat pluralisme dalam media akan menciptakan hubungan yang harmonis antar etnis. Perbedaan antar etnis jangan disikapi sesuatu yang harus dihindari, namun menjadi semacam puzzle yang saling melengkapi. Harmonis dalam keberagaman merupakan cita-cita bersama yang harus kita raih. Sebagaimana yang disampaikan Superman Is Dead, band punk rock asal Bali, dalam lirik lagunya “Kuat Kita Bersinar”:

                Ku tatap dunia, terasa perih luka di dada
                Pertempuran manusia, yang buta indahnya perbedaan, oh indahnya
                                Ku bisa, engkaupun bisa,
                                melupakan kebencian yang ada
                                Bersama kita terluka, bersama kita bisa tertawa,
                                 Dan tertawa
                Ayo bangun dunia di dalam perbedaan
                Jika satu tetap kuat kita bersinar
                Harus percaya tak ada yang sempurna
                Dan dunia kembali tertawa

Daftar Referensi


BM, Mursito. 2007. Konstruksi Realitas Dalam (Bahasa) Media. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 1 No. 1: Halaman 25-34.
Devito, Joseph. A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Professional Books: Jakarta.
Fiske, John. 1990. Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Bandung: Jala Sutra.
Jatman, Darmanto. 2004. Pluralisme Media Dalam “Era Imagology”: Sketsa Interaksi Budaya Media Dengan Budaya-budaya Etnik. Di Dalam: Idi Subandi Ibrahim, Editor: Lifestyle Ecstasy, Kebidayaan Pop Dalam Masyarakat Komunitas          Indonesia. Bandung: Jala Sutra. Halaman 83-90.
Kayam, Umar. 2004. Budaya Media dan Interaksinya Dengan Budaya-budaya Etnik di  Negara-negara Berkembang. Ibid. Halaman 79-82.
Siregar, Ashadi. 2008. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat. Yogyakarta: Penerbit Pinus.



* Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi UB angkatan 2008
dan merupakan anggota HMI K ISIP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar