Oleh: Abdul Hair*
Pendahuluan: Antara Budaya dan Media
Komunikasi dan kebudayaan merupakan
dua hal yang terintegrasi. Tanpa komunikasi kebudayaan apapun akan mati. Maka
diskursus budaya harus melibatkan studi komunikasi, sebab penciptaan,
pemeliharaan, ataupun dekonstruksi budaya berlangsung melalui aktivitas
komunikasi dengan menggunakan media, termasuk media massa.
Pada masyarakat-masyarakat etnik
tradisional, media komunikasi yang berperan sebagai penyampai informasi adalah
upacara. Informasi yang disampaikanpun masih terbatas pada sistem kepercayaan,
sistem pertanian, ataupun sistem kekerabatan. Dalam perkembangannya, wahana
utama untuk menyampaikan semua informasi itu bergeser pada media kesenian,
seperti teater, tarian, musik, kesusastraan, seni rupa, dan arsitektur.
Dalam kehidupan masyarakat
kontemporer, media massa memegang peranan penting dalam kehidupan berbudaya.
Media massa tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk budaya
itu sendiri. Informasi-informasi dari realitas empiris yang disajikan media
telah didesain sedemikian rupa hingga membentuk realitasnya sendiri (realitas
media). Celakanya, banyak orang yang terjebak dalam dikotomi ini, dalam artian
tidak bisa memisahkan antara realitas media dengan realitas empiris. Hal ini
terjadi akibat khalayak menganggap media massa memiliki kredibilitas tinggi
dalam merepresentasikan fakta yang ada.
Realitas media merupakan “desain
ulang” realitas empiris yang dilakukan oleh “produser” informasi. Desain ulang
terjadi karena adanya “mitos” yang menyatakan bahwa khalayak sangat menyukai
informasi yang bombastis. Informasi yang bombastis akan mendatangkan banyak
khalayak, dan khalayak banyak akan mendatangkan keuntungan yang besar. Maka
tidak berlebihan jika dikatakan realitas media muncul akibat adanya
komodifikasi informasi. Jika dianalogikan, ketika dalam realitas empiris yang
terjadi hanya 1A, maka dalam realitas media yang terjadi adalah 1,5A.
Yang mungkin tidak disadari banyak
pihak adalah, realitas media ini mempunyai potensi menimbulkan konflik,
khususnya konflik antar etnis. Ketika terdapat penyampaian informasi yang
berlebihan, ketimpangan informasi, apalagi sampai mendistorsi informasi, maka
pada saat itulah potensi konflik akan muncul. Hal ini terjadi akibat ada
pihak-pihak (etnis) yang merasa dirugikan dengan penyampaian informasi ini.
Bentuknya beragam, reaksinya bisa mengarah kepada media yang menginformasikan,
atau kepada pihak (etnis) lain.
Berangkat dari kerangka berpikir
diatas, tulisan ini akan memaparkan signifikansi media dalam kohesifitas antar
etnis, dan karena tulisan ini merupakan pandangan hipotetik penulis, maka
pembuktiannya perlu dilakukan dalam bentuk penelitian lebih lanjut.
Orientasi Media Massa
Secara umum, orientasi dari media
massa ada tiga, condong pada pemerintah, provit oriented, atau
berorientasi pada publik. Media yang condong pada pemerintah umumnya adalah
media buatan pemerintah sendiri, selalu menyampaikan kegiatan ataupun agenda
yang telah dicapai pemerintah. Contoh dari media ini adalah TVRI, walaupun
terkadang TVRI juga menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah.
Media massa yang kedua adalah yang
berorientasi pada keuntungan (provit oriented). Media massa ini,
utamanya televisi swasta, lebih melayani kebutuhan-kebutuhan komersial nasional
dan global. Lebih berorientasi pada keuntungan akibat televisi swasta dalam
membuat sebuah program siaran membutuhkan biaya yang besar. Agar modal dari
program siaran ini bisa kembali sekaligus mendapatkan keuntungan, maka televisi
swasta sangat bergantung pada iklan komersial yang tayang pada televisi mereka.
Yang kemudian menjadi persoalan adalah, tidak semua perusahaan mau menayangkan
iklan komersialnya pada televisi swasta yang mempunyai jumlah penonton sedikit.
Untuk menyiasati hal ini, televisi swasta cenderung memproduksi program siaran
hiburan.
Program siaran hiburan banyak
digemari masyarakat Indonesia karena beberapa faktor. Yang pertama karena masih
banyaknya masyarakat Indonesia yang hidup susah. Mereka tidak memunyai hiburan
lain selain yang ada pada televisi, karena memang akses untuk mendapatkan
hiburan di luar rumah itu relatif mahal bagi mereka. Maka televisilah yang
menjadi jalan keluarnya. Yang kedua, masih banyak masyarakat Indonesia yang
berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang rendah juga berkorelasi dengan
tingkat kognisi yang rendah. Maka ketika televisi swasta nasional menayangkan
program siaran “berat,” masyarakat cenderung untuk tidak menontonnya. Yang
ketiga adalah masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan budaya membaca,
padahal lewat membacalah kita bisa mendapatkan informasi yang berbobot. Ketika
media cetak mulai masuk ke Indonesia awal 1900-an, dan budaya membaca belum
terbentuk dengan sempurna, masyarakat indonesia telah kedatangan media yang
lebih praktis untuk mendapatkan informasi, yaitu radio dan televisi. Bandingkan
dengan negara-negara barat yang tetap mempertahankan budaya membaca meskipun
terdapat media lain yang lebih praktis untuk mendapatkan informasi. Ini wajar,
sebab ketika budaya membaca telah terbentuk sempurna di sana, baru kemudian
media-media baru bermunculan.
Media massa yang ketiga adalah media
yang berorientasi pada publik. Media seperti ini benar-benar memberikan edukasi
pada masyarakat melalui sajian informasi yang ditampilkan, sekaligus menjaga,
memelihara, dan mengisi ruang publik dalam dimensi kultural. Ini dibedakan dari
media televisi yang menjalankan fungsi imperatif untuk memenuhi kepentingan
pragmatis publik, atau fungsi subyektif pemilik media untuk kepentingan
kekuasaan negara atau pasar. Media publik tidak boleh bergerak atas dorongan
fungsi subyektif kekuasaan politik, atau bersifat komersial untuk pengembangan
modal dan orientasi provit. Sayangnya, belum ada media seperti ini di
indonesia.
Media Massa Nasional dan Media Massa
Lokal
Di Indonesia, media telah menjadi
bagian dari kapitalisme dan globalisasi, jadi amat sangat padat modal dan
teknologi. Mereka menjadi bagian dari pemegang hegemoni atau kepanjangan dari
dominasi kultural suatu lapisan masyarakat. Satu suprakultur. Tidak
mengherankan jika banyak media massa yang bersikap sok tahu, karena
memang memiliki kekayaan yang jauh lebih besar ketimbang kaum awam. Beberapa
pakar bahkan menyebut televisi sebagai paedocraticregime, yang
menandaskan dominasi budaya televisi dibanding budaya masyarakat pemirsanya.
Dalam berbagai acara mereka, mereka mau mengajari masyarakat. Artinya, bila
media itu didirikan oleh suatu komunitas, maka media itu akan mengukuhkan
dominasi kultural dari masyarakat lapis atasnya sebagai pemegang hegemoni.
Siaran televisi jadi dianggap sebagai imposisi kebudayaan.
Ketika televisi nasional memroduksi
sinetron dengan ciri Jakarta-sentrisnya, maka seolah-olah Indonesia ini hanya
Jakarta saja. Walaupun lokasi pengambilan gambarnya di luar Jakarta, tetapi
aksen Jakarta tetap mendominasi tayangan tersebut.
Dalam sebuah sinetron ditampilkan
bagaimana seorang wanita Jawa dengan pakaian serta dialek khas jawanya merantau
ke Jakarta untuk mencari kerja. Ketika telah sampai di ibu kota, dan wanita
tersebut mulai berkenalan dengan masyarakat, banyak orang yang kemudian
menganggap wanita Jawa tersebut kuno, katro, ataupun ndeso.
Wanita itu sering diejek karena dianggap tidak modern.
Ketika dia melamar pekerjaan
keberbagai perusahaan, semua perusahaan tersebut menolaknya dengan alasan
wanita tersebut tidak sesuai kriteria yang dicari. Setelah bersusah payah
mencari, akhirnya wanita ini mendapatkan pekerjaan juga sebagai clening
servis di salah satu hotel. Tapi ternyata setelah mendapat pekerjaan pun,
ejekan tidak berhenti menerpanya, justru datang dari temannya sendiri yang
berkerja di tempat yang sama. Lambat laun wanita tersebut putus asa dan
memutuskan ingin pulang kampung saja. Tiba-tiba datanglah seorang pria, bos
wanita itu, menawarkan bantuan. Dan dengan berbagai pertimbangan akhirnya
wanita tersebut menerima tawaran pria tadi.
Maka dilakukanlah proses make over
pada wanita ini, pakaian khas jawanya ditanggalkan, diganti dengan stelan
pakaian yang terkesan elegan. Wanita itupun lalu ikut kursus kepribadian,
diajarkanlah dia bagaimana cara makan, berbicara, dan berinteraksi dengan orang
lain. Setelah proses make over ini selesai, jadilah wanita tersebut
sebagai “orang yang lain,” yang benar-benar berbeda dari keadaannya semula. Ending
dari sinetron ini tentu saja gampang ditebak, wanita itu akhirnya bisa diterima
teman seprofesinya dan orang-orang disekitarnya, karena dianggap telah menjadi
wanita modern. Serta tidak lupa, wanita itu lalu bertunangan dengan bosnya
sendiri.
Distorsi informasi yang disampaikan
dalam sinetron tersebut tentunya menimbulkan potensi konflik dalam kehidupan
berindonesia. Dalam kehidupan empirik pun banyak ditemui kasus-kasus yang
serupa dengan cerita sinetron di atas. Akibat adanya ketimpangan dan distorsi
informasi tersebut, masyarakat akhirnya menganggap bahwa budaya urban adalah
budaya terbaik, dan budaya-budaya konservatif harus ditinggalkan. Parahnya,
banyak orang yang tidak mengerti bahwa apa yang ditampilkan sinetron tersebut
adalah realitas media, bukan realitas empirik.
Serbuan televisi swasta nasional
telah membentuk paradigma berpikir baru bagi masyarakat yang multi etnis.
Karena mayoritas televisi swasta nasional bermarkas di kota metropolis Jakarta,
maka serangan budaya metropolis pun menjadi tak terhindarkan. Ini membuat
desentralisasi yang dicanangkan pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Maka banyak pihak yang menyatakan bahwa kebijakan nasional diijinkannya
televisi swasta lokal siaran dalam daya jangkau terbatas adalah suatu strategi
budaya yang tepat.
Televisi lokal dalam memproduksi
siarannya, tentu saja akan mempertahankan identitas lokalnya, cita rasa
lokalnya. Yang ditampilkan adalah berita-berita lokal, kesenian lokal, wisata
lokal, bahasa lokal, ataupun struktur masyarakat lokal. Hal-hal yang sebelumnya
tidak pernah ditampilkan di televisi nasional, akan ditampilkan di televisi
lokal ini.
Pesan-pesan yang disampaikan melalui
media televisi lokal, ternyata mempunyai potensi konflik. Ketika yang
ditampilkan adalah identitas lokal, akan terbentuk stereotip khalayak bahwa
kebudayaannya adalah yang terbaik. Stereotip ini akan memunculkan pandangan
budaya superior, etnis superior. Budaya superior tentunya adalah milik
masyarakat superior pula, maka ketika masyarakat menganggap bahwa etnisnya lah
yang paling unggul dibanding etnis lain, jelas akan muncul potensi konflik.
Paradoks nilai yang dibawa televisi
swasta nasional dengan televisi lokal jelas menjadi ironi tersendiri. Disatu pihak
televisi swasta nasional yang notabene berorientasi pada keuntungan, jelas akan
menampilkan realitasnya sendiri, tidak peduli apakah ada pihak yang dirugikan
atau tidak. Sedangkan televisi lokal dalam penyampaian informasi juga akan
berorientasi pada semangat primordialnya, untuk tetap mengukuhkan eksistensinya
dalam kehidupan berindonesia.
Media Publik: Strategi Membangun
Kohesifitas Antar Etnis
Potensi-potensi konflik yang
disebabkan oleh ketimpangan informasi dalam media tersebut harusnya dapat kita
hindari. Potensi-potensi tersebut muncul karena
tidak adanya media massa (televisi) yang berorientasi pada publik. Untuk
mengejar keuntungan yang besar, maka media pun membentuk realitasnya sendiri,
yang tentunya lebih bombastis dari realitas empirik agar bisa menarik banyak
khalayak.
Televisi publik adalah televisi yang
tidak berpihak pada siapapun dan tidak beroreintasi pada keuntungan. Televisi
yang benar-benar memberikan edukasi pada masyarakat, sekaligus menjaga,
memelihara, dan mengisi ruang publik dalam dimensi kultural. Dalam penyampaian
informasi juga harus proporsional, karena Indonesia adalah negara yang multi
etnis, agama, golongan, lapis sosial, desa-kota, pertanian-industri,
sakral-profan, bahkan lelaki-perempuan.
Semangat media publik merupakan
refleksi dari semboyan sakral negeri ini, yang telah dikumandangkan
berabad-abad yang lalu, bhineka tunggal ika. Bagaimana kemudian media
ini mentransformasikan pesan-pesan yang justru tidak mensuperiorkan etnis
tertentu, tetapi memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa indonesia adalah
negara yang kaya akan budaya, bahwa diantara budaya tersebut tidak ada yang
lebih unggul, dan perbedaan budaya ini haruslah diterima sebagai suatu
keniscayaan. Ini sejalan dengan salah satu fungsi media massa yang tidak banyak
orang menyadarinya, yaitu kemampuannya
membuat kita merasa menjadi anggota suatu kelompok.
Media lokalpun juga harus demikian.
Walaupun dalam penyampaian informasi tetap mengutamakan semangat lokal, akan
tetapi semangat membangun Indonesia dalam keberagaman tak boleh dilepaskan.
Televisi lokal dalam mengedukasi masyarakat jelas menampakkan nilai-nilai
kearifan lokal, dan bagaimana nilai kearifan lokal ini diaplikasikan untuk
skala yang lebih luas, nasional bahkan global.
Semangat pluralisme dalam media akan
menciptakan hubungan yang harmonis antar etnis. Perbedaan antar etnis jangan
disikapi sesuatu yang harus dihindari, namun menjadi semacam puzzle yang
saling melengkapi. Harmonis dalam keberagaman merupakan cita-cita bersama yang
harus kita raih. Sebagaimana yang disampaikan Superman Is Dead, band punk rock
asal Bali, dalam lirik lagunya “Kuat Kita Bersinar”:
Ku
tatap dunia, terasa perih luka di dada
Pertempuran
manusia, yang buta indahnya perbedaan, oh indahnya
Ku
bisa, engkaupun bisa,
melupakan
kebencian yang ada
Bersama
kita terluka, bersama kita bisa tertawa,
Dan tertawa
Ayo
bangun dunia di dalam perbedaan
Jika
satu tetap kuat kita bersinar
Harus
percaya tak ada yang sempurna
Dan
dunia kembali tertawa
Daftar Referensi
BM, Mursito. 2007. Konstruksi
Realitas Dalam (Bahasa) Media. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 1 No. 1: Halaman 25-34.
Devito, Joseph. A. 1997. Komunikasi
Antar Manusia. Professional Books: Jakarta.
Fiske, John. 1990. Cultural And
Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Bandung: Jala Sutra.
Jatman, Darmanto. 2004. Pluralisme
Media Dalam “Era Imagology”: Sketsa Interaksi Budaya Media Dengan Budaya-budaya Etnik. Di Dalam: Idi
Subandi Ibrahim, Editor: Lifestyle
Ecstasy, Kebidayaan Pop Dalam Masyarakat Komunitas Indonesia. Bandung: Jala Sutra. Halaman 83-90.
Kayam, Umar. 2004. Budaya Media
dan Interaksinya Dengan Budaya-budaya Etnik di Negara-negara Berkembang. Ibid. Halaman
79-82.
Siregar, Ashadi. 2008. Etika
Komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat.
Yogyakarta: Penerbit Pinus.
* Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi UB angkatan 2008
dan merupakan anggota HMI K ISIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar