Jumat, 21 September 2012

Kebijakan Luar Negeri Tanpa Diplomasi : “Pemerintahan Bush Di Persimpangan Jalan“

Oleh : Nanda Pratama (Nano)*

Kebijakan luar negeri pemerintahan Bush yang sampai sekarang mengalami kemunduran dalam proses diplomasi. Hal ini dampak dari pencampuran strategi antara diplomasi dan remiliterisasi. Keamanan dipahami secara berlebihan, dan cenderung mengesampingkan proses diplomasi. AS menempatkan dirinya sebagai subjek (Pemegang peran utama) dan menempatkan negara lain sebagai objek kebijakan luar negerinya, hal ini berpengaruh terhadap kecenderungan akan kembali terulangnya strategi yang diterapkan pada perang dunia kedua.
Adanya ancaman serangan teroris pada beberapa elemen penting (Ekonomi – Politik – militer) yang ada, membuka peluang yang lebih besar kepada pemerintahan Bush untuk mengambil peran yang lebih besar pada masalah ketertiban dan keamanan dunia. Kebijakan luar negeri AS yang demikian itu, telah menggerus peran lembaga multilateral dalam hal ini PBB dan menganggu proses diplomasi unilateral. Sikap tegas pemerintahan Bush terhadap teroris Internasional dengan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ‘Perang Baru Abad 21’, telah mengubah strategi yang ada. Dewas ini, AS telah menjadikan kekuatan militer sebagai kekuatan utama dengan mengesampingkan proses diplomasi. AS percaya bahwa perlu adanya ketegasan sikap terhadap ancaman keamanan dunia, namun mereka telah melupakan hal yang lebih penting dalam tatanan dunia. Bahwa kekuatan militer, tidak dapat menjawab semua permasalahan yang ada dan dengan mengesampingkan diplomasi justru terlihat banyak kelemahan pada kebijakan-kebijakan luar negeri pemerintahan Bush, seperti apa yang telah dilakukan para pendahulunya dalam menyikapi masalah Internasional.
Ketergantungan strategi yang dilakukan AS terhadap aset militer, semakin membuat kebijakan ini sangat terlihat ‘aneh’ untuk diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Hal ini membuat penilaian dunia telah bergeser, AS lebih terlihat sebagai pemerintahan realis daripada sebagai pemerintahan demokratis yang sering mengedepankan diplomasi. Sebuah pergeseran nilai yang tak dapat dihindarkan, ketika AS terus kukuh pada strategi militernya.
Dua Skenario : Persimpangan Untuk Kebijakan Pemerintahan Bush.
Dalam kebijakan luar negerinya, AS telah memposisikan dirinya sebagai pemegang peran utama ‘Polisi Dunia’ dalam keamanan dan ketertiban dunia, membuat mereka terlihat lebih tegang. Hal itu membuat kebijakan strategi utama mereka yaitu memposisikan militer sebagai kekuatan utama, justru semakin menunjukan ‘kerentana’ mereka terhadap keamanan domestik dan luar negeri. Kebijakan militerisasi terlihat sebagai nilai yang tidak mampu diterima oleh tatanan dunia, paling tidak itu yang disampaikan oleh Stanley Hoffman. Dia melihat bahwa militerisasi bukan jawaban mutlak akan masalah keamanan pada tatanan dunia, maka dari itu dia berharap adanya re-orientasi terhadap kebijakan yang ada.
Re-Orientasi kebijakan yang ada, sehubungan dengan adanya skenario kedua yaitu proses diplomasi. Strategi militer yang telah membatasi ruang diplomasi, secara tidak langsung setelah adanya re-orientasi telah memasuki babak baru yaitu adanya proses diplomasi yang memiliki ruang lebih. Namun dalam skenario baru ini pemerintahan Bush masih terlihat angkuh (Sombong), paling tidak ini tercermin dari pernyataannya “Siapa yang tidak berpihak pada kita, adalah musuh kita”. Sikap seperti ini, hanya akan membuat proses diplomasi hanya bersifat taktis saja. Dalam berbagai kesepakatan, sikap pemerintahan AS telah mengalami kebuntuan dan akhirnya ada point yang tidak bisa dicapai. Terjadi pertentangan komitmen perjanjian, utamanya terjadi padad era pengawasan senjata, seperti perjanjian rudal anti-balistik, perjanjian larangan tes komprehensif (Sudah ditolak pada tahun 1999 dan ditinggalkan di oleh Bush), konvensi senjata biologi (ditolak pada tahun 2001) dan pengurangan baru-baru ini, dana untuk inisiatif pengurangan ancaman kooperatif (untuk menghambat proliferasi kapasitas nuklir bekas Soviet).
Dua skenario yang jelas terlihat rancau, seakan semakin memperjelas ‘kerentanan’ kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat. Mereka terlihat masih tidak bisa lepas dari hegemoni doktrin Monroe yang meyakini benua Amerika yang harus terlindungi dari ancaman keamanan domestik maupun Internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar