Oleh : Didit Haryadi*
“Semakin
tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus
semakin mengenal batas. (Bunda, 138) – Bumi Manusia,
Paramoedya Ananta Toer
Kutipan yang saya ambil dalam novel Bumi
Manusia tersebut setidaknya mampu membuka hati dan pikiran kita tentang
bagaimana idelanya seorang manusia dalam menempuh ilmu dan tidak mengorbankan
hak orang lain, terlepas itu dari kepemilikan materi yang sah secara pribadi
namun secara tidak sadar kita telah membuat batas yang cukup jauh antara kelas
sosial yang ada disekitar kita.
Baru sepekan rasanya kembali ke Kota
“Apel” yang dahulu menyimpan banyak cerita tentang dunia kampus dan setumpuk
balada kehidupan tentang anak manusia yang hilir mudik tak tentu arah sembari
mencari jati diri dan mungkin pengakuan atas nama manusia yang seutuhnya
melalui mental pendidikan atas label yang melekat pada subyek diri secara
pribadi sebagai seorang mahasiswa.
Pagi ini tak terasa mentari kembali menyapa fajar yang tak mungkin terbendung oleh kesibukan manusia dalam menapaki rutinitas yang semoga saja tidak menjenuhkan. Tepat jam 6 pagi, seorang kawan bergegas keluar kamar dan mengambil langkah cepat untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN), sembari berharap akan lulus dan diterima pada jurusan dan perguruan tinggi negri yang diimpikan.
Ok, saya ingin sedikit membawa anda, dia, kalian, ataupun mereka untuk sedikit memutar mundur memori tentang pelaksanaan ujian yang secara legalitas ini merupakan gerbang awal untuk masuk ke perguruan tinggi negri. Pertama, tidak bisa dipungkiri bahwa era pemerintahan Politik di Indonesia (meskipun secara pribadi, saya tidak tertarik dengan kajian politik) mengalami metamorfosa yang cukup beragam dan seakan secara otomatis telah merubah sistem kehidupan sosial masyarakat kita. Masih ingat dengan Mr.Soeharto???ya, tentu saja, kita tidak akan pernah lupa hingga anak, cucu, dan cicit kita tentang sosok jenderal yang fenomenal dan masuk kategori sebagai penjahat HAM itu, hingga akhirnya ia didaulat sebagai bapak pembangunan..huh??siapa gerangan yang membangun sistem dan terminologi patronase tersebut???silahkan tanyakan kembali pada sejarawan Indonesia. Yang pasti, selama masa pemerintahannya yang dikenal dengan era Orde Baru telah mampu membungkam rakyat hingga tak berdaya menghadapi system oligarki yang dibangunnya dan bermuara pada membengkaknya hutang Indoensia hingga saat ini!! Belum lagi penyakit sosial yang luar biasa tak berperikemanusiaan yakni korupsi telah membudaya dalam sistem pemerintahan ini. Saya sangat tertarik dengan kutipan wawancara seorang penulis bersama Pramoedya Ananta Toer, “mempunyai karakter” Ya itulah, Ironis!!yang membiayai pembangunan mesjid, gereja, vihara, dan sebagainya itu biasanya para koruptor, supaya impas dosanya , itu budaya bukan politik. Korupsi itu sudah budaya Indonesia. Dulu namanya upeti, sekarang korupsi. Nah, korupsi itu seumbernya karena Indonesia gak terdidik untuk berproduksi, hanya berkonsumsi saja. Pengalaman berproduksi itu yang akan membikin orang mempunyai karakter”.
Pendidikan di Indonesia mengalami metamorfosa yang luar biasa tak menentu dan penyesuaian atas nama kebijakan demi pencerdasan sebagai amanat konstitusi UUD 1945 yang sacral. Benarkah sudah tercapai??? Ini tidak perlu diperdebatkan, buku, fasilitas, dan kemampuan sumber daya manusia sudah menjadi representasi atas pertanyaan itu.
Sekolah yang mem(bebas)kan!!
Era orde baru, Indonesia mengenal istilah
Sipenmaru (seleksi penerimaan mahasiswa baru) yang merupakan jembatan awal
ketika alumni sekolah menengah atas (SMA/SMK) ingin melanjutkan studi mereka di
perguruan tinggi negri. Tidak banyak memang yang menarik tentang istilah ini,
saya hanya ingin sedikit mengulas tentang begitu besarnya minat anak Indonesia
untuk menimba ilmu dibangku kuliah. Bayangkan, ketika begitu ribuan calon
mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia berkumpul dan
berjamaan merebut satu kursi yang hanya dibatasi pada jumlah tertentu. Bukan
kuantitas yang harus diperdebatkan, tetapi bagaimana pemerataan pendidikan ini
harus terlaksana secara massif dari Sabang sampai Merauke. Jadi, harapan yang
paling besar adalah semoga pendidikan yang anda raih mampu mem(bebas)kan
seperti yang diungkapkan oleh Ivan Illich. Sebagai catatan, istilah Sipenmaru
diganti dengan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negri) dan berlaku hingga
tahun 1990an sebelum reformasi hadir.
Tumbangnya rezim Soeharto memberikan angin segar seperti saat kabut menyentuh lini waktu saat fajar menyapa, harusnya!! Tongkat estafet pun kini berada pada era reformasi yang merupakan hadiah dari perjuangan 1998.
Embrio pun hadir, dunia pendidikan mensyaratkan ujian masuk perguruan tinggi negri dengan terminologi yang baru yakni SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru). Apakah anda bagian dari era ini??ya, saya adalah produk dari model ini dan mungkin juga anda yang sedang membaca ini. Tidak ada yang special memang, hanya kemasan nama yang berbeda, sistem dan cara yang digunakan pun tidak jauh berbeda, hanya saja mungkin pembagiannya pada regional tempat ujian dan tentunya semakin beragamnya jurusan/disiplin ilmu yang semakin menuntut harus beradaptasi dengan arus modernisasi dan permintaan “pasar”.
Dalam rentang waktu satu dekade terjadi perombakan istilah dari SPMB menjadi SNMPTN (seleksi nasional masuk perguruan tinggi negri). Istilah ini terdengar cukup sulit untuk dieja, semoga tidak serumit sistemnya, semoga!!
Aturan ini muncul sekitar tahun 2007 hingga hari ini (2012) dan mungkin akan terus berkembang dan mengalami metamorphosis lagi. Silahkan browsing dan tengok tulisan serupa tentang aturan dan sistem seleksi ini, hamper semuanya sama dan memiliki kemiripan, baik dari era Sipenmaru, UMPTN, SPMB, maupun SNMPTN.
Ingat, kita tidak sedang mempermasalahkan istilah yang dilempar ke ranah pendidikan, akan tetapi bagaimana pendidikan itu bisa mencerdaskan dan memberikan manfaat yang luas kepada orang lain, bukan hanya sekedar mengambil hak orang lain dan tntunya harus mengenal batas.
Mungkin ada puluhan juta anak-anak Indonesia yang ingin sekedar menimba ilmu dan menikmati dunia akademik diperguruan tinggi dan mereka terkendala besanya biaya pendidikan yang semakin hari semakin melambung setinggi gedung pencakar langit di Ibukota.
Semoga kita lebih selektif dalam memaknai arti pentingnya pendidikan dan memberikan pencerahan yang luas kepada orang lain.Selamat menempuh ujian, semoga sukses dan menjadi pelita baru dalam menapaki gerbang kehidupan di Indonesia.
Salam hangat…
*Penulis
adalah Alumni HMI Komisariat
Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Brawijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar