Oleh: Muhamad Erza Wansyah
Sejarah
bercerita, telah banyak perang yang terjadi di dunia ini, mulai dari tingkat
ras, suku, hingga negara. Selaras dengan banyaknya fenomena peperangan yang
terkisahkan, banyak pula disiplin ilmu yang mengkaji peperangan dari berbagai
sudut pandang dari tiap disiplin ilmu yang ada, ilmu psikologi merupakan salah
satunya. Psikologi dapat masuk untuk mengkaji perang tidak lain disebabkan
karena dalam peperangan, terdapat individu-individu yang merupakan subjek
pembahasan ilmu psikologi.
Secara
konvensional, perang diidentikkan dengan tindak kekerasan sebuah kelompok
dengan kelompok lainnya. Hal ini tidak lepas dari hakikat dasar manusia yang
memiliki orientasi tinggi dalam melakukan kekerasan. Sigmund Freud, tokoh
psikologi ternama berpendapat, secara genetik manusia memiliki pembawaan
lahiriah untuk cenderung melakukan kekerasan (Freud, 1932/1951). Bandura
mengambil sudut pandang lain dalam memandang tindak kekerasan. Beliau menjelaskan,
tindak kekerasan (agresi) pada manusia merupakan hasil dari belajar sosial
(Bandura, 1986). Keadaan situasional dari lingkunganlah yang merupakan faktor
utama manusia melakukan kekerasan.
Inilah
yang menjadi dasar terjadinya peperangan. Dua tokoh di atas telah memberikan
jawaban untuk pertanyaan tentang alasan peperangan yang sering diutarakan
banyak orang. Sifat dasar manusia, yang cenderung berbuat kekerasan ialah kunci
dari timbulnya peperangan. Namun, tidak secara mentah-mentah tindak kekerasan manusia
menjadi faktor utama timbulnya peperangan. Seperti telah dibahas dalam kajian
psikologi massa, gerakan massa merupakan gerakan yang diarahkan oleh seseorang
atau beberapa sosok yang dianggap memiliki bergaining
dalam sebuah kelompok. Sosok tersebutlah yang mendapatkan peran terpenting
dalam gerakan sebuah kelompok. Oleh karenanya, seringkali tindakan kolektif
dari sebuah kelompok merupakan tindakan manifestatif hasil interpretasi
seseorang yang menjadi sosok dalam kelompok tersebut.
Pemaparan
awal mengenai penyebab perang ditemukan dalam buku Thucydide yang berjudul History
of the Peloponnesian War seputar konflik berdarah antar negara Yunani,
Sparta dan Athena lebih dari 2400 tahun lalu. Thucydide seorang realist yang
dianggap sebagai psikolog politik pertama, mengatakan, pemicu konflik berdarah
antara Spartans dan Athenians adalah ketakutan
dari kedua belah pihak. Ketakutan pemimpin Spartans yang menganggap
Athenians semakin luas melakukan doktrinisasinya untuk melebarkan teritori.
Serta, ketakutan pemimpin Athenians yang menganggap Spartans memiliki kekuatan militer kejam yang bertekad bersaing dengan
mereka untuk mendapatkan
kekuasaan tertinggi atas seluruh Yunani. Ketakutan dua pemimpin itu
terlampiaskan pada pernyataan perang dari mereka. Sehingga, anggota-anggota
lain yang belum tentu merasakan ketakutan yang dirasakan oleh pemimpinnya,
terpaksa berpartisipasi dalam peperangan berdarah antara Spartan dan Athena.
Secara mendetil,
Jervis (1976) dan Lebow (1981) mengidentifikasikan ketakutan sebagai hasil dari
mispersepsi antara dua pemimpin yang berselisih. The role of perception and misperception between the leaders of states,
in causing or avoiding international conflict, has been described at length
across historical crisis cases.
Contoh
lain terdapat pada Perang Dunia I (PD I). Terdapat beberapa alasan psikologis
yang menyebabkan PD I bergejolak. Kesalahpahaman dan ketakutan oleh para
pemimpin negara menjadi peran yang ikut andil besar dalam munculnya PD I. Jelas
hal ini dibenarkan. Dalam pembahasan psikologi massa telah dikaji bahwa seorang
sosok yang dianggap sebagai pemimpin merupakan sosok “provokatif” yang dapat
mempengaruhi masyarakat banyak. Oleh karenanya, jika terdapat ketidaksenangan
pemimpin, seorang pemimpin dapat dengan mudahnya menggerakkan massanya untuk
mengikuti apa keinginannya.
Kemudian
adalah kemajuan teknologi dalam peperangan dan kemampuan
mobilisasi cepat yang disediakan oleh sistem kereta api modern, telah secara
fundamental mengubah sifat perang. Tidak hanya perang begitu sangat destruktif,
tetapi negara yang berhasil dalam memobilisasi pertama secara otomatis akan
menjadi pemenang.
Keinginan untuk menjadi pemenang adalah sifat dasar dari manusia. Alfred adler,
menjelaskan, hakikat manusia adalah beranjak dari tingkat inferioritas menuju
superioritas. Dengan didukung fasilitas teknologi, aktor-aktor dalam PD I akan
berlomba-lomba untuk menggapai kemenangan (tingkat superioritas). Hal ini juga
memicu adanya persaingan “hebat-hebatan” alat perang. Lingkungan keamanan
semacam ini tidak stabil. Menimbulkan ketakutan yang menstereotip pada negara
lain. Terutama pada isu-isu saat Perang Dingin,
beberapa negara mempunyai kemampuan untuk meluncurkan nuklir kepada
negara lawan.
Dalam
dinamika dunia yang serampangan pada saat itu. serangan dan pertahanan (ofensif
dan defensif) sudah tidak bisa dibedakan satu sama lain. Hingga akhirnya, meski
para negarawan saling meyakinkan satu sama lain bahwa mobilisasi mereka hanya
untuk pertahanan semata, namun tiap negara mengalami yang disebutkan oleh
Jervis sebagai security dilemma .
Security
Dilemma
Jika
diartikan secara terminologi, Security
Dilema terdiri dari dua akata. Security
yang berarti keamanan. Dan Dilemma
Kesulitan yang dihadapi untuk mengambil satu dari dua pilihan yang mana dua hal
tersebut dianggap menentukan. Jadi dari arti dua kata tersebut, kita dapat
memaknai security dilemma sebagai suatu kesulitan yang dihadapi oleh unit-unit
tertentu, misalnya negara, dalam mengambil suatu keputusan terhadap masalah
keamanan yang sedang dihadapinya.
Dalam
buku Introduction Political Psychlogy, di
jelaskan bahwa Seccurity Dilema adalah
situasi di mana tindakan yang diambil oleh masing-masing
negara untuk meningkatkan keamanan sendiri memiliki efek yang secara bersamaan ikut mengurangi keamanan tetangganya. alasan untuk
ini adalah bahwa yang membedakan senjata ofensif dan defensif dari satu sama
lain adalah motivasi dari pemiliknya, bukan karakteristik dasar dari senjata itu sendiri.
Di
dalam artikel The societal and security
dilemma, dinyatakan bahwa dilemma keamanan muncul ketika adanya aksi dari
suatu negara untuk meningkatkan keamanan negaranya, namun disatu sisi ini menimbulkan
reaksi dari negara lain yang juga ingin meningkatkan keamanannya, yang pada
akhirnya reaksi ini menyebabkan penurunan keamanan di negara pertama.
Menurut
John H. Herz, Security Dilema itu
merupakan susunan sosial yang mana unit-unit kekuasaan (seperti negara, bangsa,
atau hubungan internasional) menemukan diri mereka kapan pun mereka selalu
bersamaan (saling mendukung) tanpa adanya kekuasaan yang lebih tinggi yang
memungkinkan terjadinya pengambilan keuntungan diantara mereka dan sehingga melindungi
mereka dari ‘saling serang’.
Sebagai
contoh, Perang Dingin antara US dengan Uni Soviet. Setelah AS dan Uni Soviet
bersekutu dan berhasil menghancurkan Jerman Nazi, kedua belah pihak berbeda
pendapat tentang bagaimana cara yang tepat untuk membangun Eropa pascaperang.
Selama beberapa dekade selanjutnya, persaingan di antara keduanya menyebar ke
luar Eropa dan merambah ke seluruh dunia ketika AS membangun
"pertahanan" terhadap komunisme dengan membentuk sejumlah aliansi
dengan berbagai negara, terutama dengan negara di Eropa Barat, Timur Tengah,
dan Asia Tenggara.
Amerika
Serikat dan sekutunya membentuk Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (North
Atlantic Treaty Organization/NATO) yang berdiri pada tanggal 4 April 1949 di
Washington, AS. Apabila salah satu anggota NATO diserang, maka serangan itu
dianggap sebagai serangan terhadap NATO. Di pihak lain, Uni Soviet dan
sekutunya membentuk Pakta Warsawa (Warsawa Pact) pada tanggal 14 Mei 1955 di
Praha-Cekoslowakia atas dasar ”Pact of Mutual Assistance and Unified Command”.
Dalam
kasus ini, security dilemma hadir saat kedua belah pihak selalu memandang
negatif lawannya. Segala tindakan yang dilakukan lawannya, baik atau buruk,
selalu dianggap negatif. Jika perilaku Soviet
di dunia itu baik, itu bukan dianggap karena niat soviet
yang ramah, melainkan, perilaku baik mereka hanya dihasilkan dari kekuatan
besar militer AS. Di sisi lain, ketika perilaku soviet di dunia adalah buruk, justru ini dikatakan sebagai cerminan sejati dari maksud sebenarnya kebijakan mereka.
Terdapat pula istilah lain, Fundamental attribution error. Fundamental attribution error meliputi tendensi kita untuk
mengaitkan perilaku orang lain dengan kualitas disposisi mereka (kepribadian,
motivasi, dll) daripada mengaitkannya dengan faktor situasional yang
kemungkinan menjadi penyebab perilaku tersebut. Pandangan seperti ini lebih cenderung subjektif dan tidak komprehensif.
Sehingga, sulit untuk meyakini kebenaran interpretasi atribusi ini. Misalnya,
Rudi melihat temannya Dude mencuri uang dari lemari teman kosnya. Akhirnya si
Rudi menilai Dude sebagai pencuri, penjahat dsb. tanpa pertimbangan
kemungkinan-kemungkinan situasional yang ada. Dan ternyata, memang benar bahwa
si Dude saat itu sedang mengalami sakit perut karena belum makan, sehingga
terpaksa mengambil uang temannya terlebih dulu untuk makan.
Pandangan
ini dicirikan dengan perspektif keyakinan buruk yang melekat (inherent bad-faith) terhadap Soviet. Belief system
seperti ini membuat sulit kedua pihak untuk melihat keyakinan yang baik dari
tiap pihak. Hal
ini malah akan membuat satu sama lain berada dalam pengertian yang salah dan
image terhadap lawan, negative stereotip yang telah disimpan akan selalu
digunakan untuk mendeskripsikan setiap tindakan yang muncul dari lawan.
Menjadi Pemimpin
Berbagai
contoh kasus telah dijelaskan secara rinci pada bagian sebelumnya. Namun, ada
yang perlu digarisbawahi pada setiap kasus yang ada. Pemimpin. Di setiap perang, terjadi atau tidaknya perang, selalu
terdapat peran yang besar dari pemimpin di kelompoknya. Bila pemimpin bilang iya, maka pasukannya akan
mengamininya. Jika tidak, maka pasukan serempak untuk tidak melakukannya.
Kemudian,
tujuan, itulah yang seharusnya harus terus digenggam oleh sebuah kelompok.
Karena tujuan dapat menjadi motivasi bagi kelompok tersebut untuk terus
berusaha menggapainya. Wade dan Tavris (1993) mengatakan tentang seberapa
pentingnya sebuah tujuan, “refers to an
inferred process within a person (or animal) that causes that organism to move
toward a goal”. Tapi, harus selalu ada penjaga tujuan kelompok. Lagi-lagi
disana muncul sosok pemimpin sebagai stabilitator gol kelompoknya.
Hingga
akhirnya, dapat diambil kesimpulan, seorang pemimpin adalah kunci dari
pergerakan setiap kelompok. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin yang kuat yang
dapat berpikir secara objektif dan komprehensif. Tidak terjebak dalan fundamental atribution error, tidak
mudah cemas, dapat mengambil hikmah positif orang lain, agar setiap gerakan
kelompok tetap pada jalurnya. Pemimpin adalah representasi dari sebuah
kelompok, maka pilihlah pemimpin yang baik.
Daftar Pustaka
Bandura,
A. 1986. Social Foundation of Thought and
Action:A Social Cognitive Theory. Englewood Cliffs, NJ: Pentince Hall
Borgida,
Eugene, et al. 2009. Series in Political
Psychlogy: The Political Psychology of Democratic Citizenship
Cottam,
Martha L, et al. 2004. Introduction to
political psychology. New Jersey: Lawrence Erlbraum Associates, Inc.
Freud,
S. 1951. Letter to Albert Einstein, September 1932. In W. Ebenstein (Ed). Great
Political Thinkers: Plato to the present (pp. 804-810). New York: Rinehart.
Dikutip dari buku, Cottam, Martha L, et al. 2004. Introduction to political psychology. New Jersey: Lawrence Erlbraum
Associates, Inc.
Jervis,
R. 1976. Perception and Misperception in
International Politics. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Lebow,
R. N. 1981. Between Peace and War: The
Nature of International Crisis. Baltimore: John Hopkins University Press
Soyomukti,
Nurani. 2008. Revolusi Sandinista: Perjuangan Tanpa Akhir Melawan
Neo-Liberalisme. Yogyakarta: Garasi.
*Penulis
adalah mahasiswa Psikologi FISIP UB angkatan 2010
Dan
juga termasuk anggota HmI K ISIP Brawijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar