Oleh
: Muhamad Erza Wansyah*
Kepribadian
adalah sebuah hal yang lekat dengan manusia. Setiap manusia pasti memiliki
kepribadian. Dalam bahasa inggris, kepribadian dikenal dengan istilah personality yang berasal dari kata porospon atau persona, yang artinya
topeng. Seperti pada teater, topeng digunakan untuk menggambarkan ekspresi
aktor yang memerankan sebuah skenario. Peran dan tingkah laku pada adegan
teater tidak jauh dari penggambaran ekspresi seseorang pada topeng tersebut.
Misalnya, aktor yang memakai topeng dengan wajah sinis, akan memainkan perannya
sebagai seseorang yang bersikap dan bertingkah laku sinis.
Istilah
kepribadian terkadang diidentikan dengan beberapa istilah yang bersifat
psikologis, seperti watak, karakter, sifat, dan lain-lain. Namun telah banyak
tokoh yang telah mendefinisikan kepribadian secara deskriptif. Semisal, salah
satu tokoh psikologi ternama, Gordon Allport, yang mendefinisikan kepribadian sebagai
organisasi dinamik dalam system psikofisiologik seseorang yang menentukan model
penyesuaiannya yang unik dengan lingkungannya. Tokoh lain yang mendefinisikan
kepribadian ialah Lawrence A. Pervin. Menurut Pervin, kepribadian adalah
seluruh karakteristik seseorang atau sifat umum banyak orang yang mengakibatkan
pola yang menetap dan merespon suatu situasi.
Masih banyak
tokoh lain yang mendefinisikan kepribadian selain dua tokoh yang dicontohkan
diatas dengan deskripsi yang berbeda. Namun, disetiap definisi dapat ditarik
kesimpulan bahwa kepribadian adalah sesuatu yang menetap dalam diri manusia,
yang secara otomatis menjadi landasannya dalam membentuk pola pikir dan
bertingkah laku secara individu, maupun sosial, serta bersifat semipermanen.
Secara umum, kepribadian seseorang dengan orang lain berbeda. Namun,
spesifikasi kepribadian pada seseoramg juga memiliki keidentikan. Contohnya,
Ari dan Beni sama-sama memiliki rasa humor yang tinggi (spesifik). Namun Ari
berkarakter keras, sedangkan Beni cenderung pemalu dan tertutup. Jadi, jika
akumulasikan, Ari dan Beni memiliki kepribadian yang berbeda.
Kepribadian dan kebudayaan, merupakan dua aspek yang tidak dapat dijauhkan. Eduard Spranger mengistilahkan kedua aspek tersebut dengan istilah roh subyektif dan roh obyektif. Menurutnya, roh subyektif dan roh obyektif itu berhubungan secara timbal balik. Roh subyektif, yang mengandung nilai-nilai yang terdapat pada masing-masing individu, dibentuk dan dipupuk dengan acuan roh obyektif; artinya roh individual itu terbentuk dan berkembang dengan memakai roh obyektif sebagai norma (Suryabrata, 2008). Hal ini sejiwa dengan teori belajar sosial dari Albert Bandura yang mengatakan bahwa kepribadian seseorang tidak lepas dari pengaruh lingkungan sosialnya yang secara otomatis mengandung nilai-nilai budaya.
Dialektika
antara kepribadian dan kebudayaan juga dijelaskan oleh Koentjaraningrat dalam
buku Pengantar Ilmu Antropologi.
Koentjaraningrat menjabarkan definisi kebudayaan menurut sudut pandang ilmu
antropologi sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 2009). Gagasan dan tindakan yang digambarkan oleh
Koentjaraningrat, adalah aspek yang dipelajari oleh ilmu kepribadian, yang
merupakan manifestasi dari kepribadian manusia. Jadi, pengertian dari
kebudayaan di atas telah cukup untuk menjustifikasi relevansi antara
kepribadian dan kebudayaan.
Kebudayaan
memengaruhi kepribadian, dan sebaliknya, kepribadian juga mempengaruhi
kebudayaan. Kenyataan ini dikembangkan oleh Kodiran dalam jurnalnya “Pewarisan
Budaya dan Kepribadian”. Karena keterkaitannya, Kodiran menyimpulkan bahwa
pewarisan sebuah budaya juga merupakan pewarisan kepribadian. Selanjutnya
Kodiran menjelaskan proses pewarisan dari sebuah kepribadian dan kebudayaan
dapat melalui jalur formal serta informal. Pewarisan melalui jalur formal dapat
dilihat dari hubungan yang dilakukan oleh guru dan muridnya disekolah.
Sedangkan, pewarisan melalui jalur informal terlihat dari pola interaksi yang dilakukan
oleh orang tua dan anak.
Jurnal yang
dibuat oleh staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada ini
juga memaknai bahwa penelitian-penelitian psikologi tidak terlepas dari
pendekatan secara antropologi, dan sebaliknya. Pernyataan ini menguatkan
hubungan antara kepribadian dan kebudayaan yang telah dijelaskan di atas.
Ide yang digagas
oleh Kodiran ini diperkuat oleh penelitian yang meneliti gejala yang ditimbulkan oleh seseorang dalam masa pubertas di beberapa
daerah. Dari semua hasil studi yang termaktub di jurnalnya, Kodiran
menyimpulkan bahwa gejala-gejala ketegangan remaja yang terjadi di kalangan
masyarakat Eropa tidak sama dengan yang terjadi pada remaja di kalangan
masyarakat kepulauan Samoa. Berbasis kesimpulan para ahli psikologi, Kodiran
menjelaskan bila hasrat-hasrat birahi atau kelakuan seks yang berkembang,
keinginan-keinginan untuk maju, kemauan-kemauan agresif, serta
kegiatan-kegiatan dinamis yang sedang tumbuh memuncak dari para remaja putra dan
putrid menjelang dewasa di masyarakat ini banyak ditekan dan dihambat terutama
oleh lingkungan masyarakat orang-orang dewasa, yang mencoba membatasi aktivitas
kaum muda tersebut, dan menganggap mereka belum cukup matang untuk melakukan
tugas-tugasnya dalam masyarakat orang dewasa.
Tekanan-tekanan
ini akhirnya menimbulkan gangguan-gangguan psikologis antara lain berupa
ketegangan-ketegangan batin, frustasi-frustasi, dan lain-lain yang membuat
sepak terjang anak-anak muda ini dikendalikan. Hal ini akan jauh berbeda dengan
kehidupan pemuda-pemudi, misalnya di Tau (Kepulauan Samoa). Di sini setiap
peralihan masa kanak-kanak ke masa dewasa tidak disertai dengan pembatasan
maupun pengekangan-pengekangan yang memungkinkan timbulnya berbagai perasaan
frustasi ataupun ketegangan-ketegangan batin seperti di atas. Jadi,
sesungguhnya segala ketegangan atau konflik-konflik masa pubertas itu tidak
selalu berlaku dan bersifat umum. Akan tetapi, hal ini banyak bergantung pada
lingkungan dan susunan kemasyarakatan tertentu.
Tidak ada yang
tidak mengenal peribahasa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, dimana
kepribadian seorang anak mirip dengan kepribadian orang tuanya. Peribahasa
tersebut juga berlaku pada konsep kebudayaan bangsa. Kebudayaan yang telah
diwariskan leluhur, akan diterapkan pula oleh anak cucunya. Imbasnya,
kepribadian anak-cucu para leluhur suatu bangsa akan mirip dengan kepribadian
leluhurnya tersebut. Oleh karena itu, hari ini dikenal istilah karakter.
Misalnya, karakter orang-orang suku Batak, suku Jawa, dsb, memiliki
karakteristiknya masing-masing. Suku Batak dengan watak kerasnya, sedangkan
suku Jawa yang cenderung pendiam, dan masih banyak lagi.
Pewarisan
kebudayaan dan kepribadian memang tidak lepas dari dinamika kehidupan manusia.
Maka, seorang manusia yang baik seharusnya menciptakan budaya yang baik untuk
generasi penerusnya. Begitu juga pada Negara, sebuah Negara harus menyiapkan
kebudayaan yang baik pula. Hal ini karena nantinya, kepribadian generasi
penerusnya tergantung dengan budaya yang saat itu sedang berlaku. Budaya yang
baik, akan menjadikan kepribadian yang baik. Sedangkan budaya yang buruk,
mengamini kepribadian buruk yang akan muncul nantinya.
Daftar Pustaka
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang:
UMM Press.
Koentjaraningrat.
2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Suryabrata,
Sumadi. 2008. Psikologi Kepribadian.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Jurnal
Koodiran. 2004. Pewarisan Budaya dan Kepribadian.
*Penulis
adalah mahasiswa program studi psikologi FISIP UB angkatan 2010
Dan merupakan kader
HMI K ISIP Brawijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar