Minggu, 14 Oktober 2012

Mewariskan Budaya = Mewariskan Kepribadian


Oleh : Muhamad Erza Wansyah*

Kepribadian adalah sebuah hal yang lekat dengan manusia. Setiap manusia pasti memiliki kepribadian. Dalam bahasa inggris, kepribadian dikenal dengan istilah personality yang berasal dari kata porospon atau  persona, yang artinya topeng. Seperti pada teater, topeng digunakan untuk menggambarkan ekspresi aktor yang memerankan sebuah skenario. Peran dan tingkah laku pada adegan teater tidak jauh dari penggambaran ekspresi seseorang pada topeng tersebut. Misalnya, aktor yang memakai topeng dengan wajah sinis, akan memainkan perannya sebagai seseorang yang bersikap dan bertingkah laku sinis.



Istilah kepribadian terkadang diidentikan dengan beberapa istilah yang bersifat psikologis, seperti watak, karakter, sifat, dan lain-lain. Namun telah banyak tokoh yang telah mendefinisikan kepribadian secara deskriptif. Semisal, salah satu tokoh psikologi ternama, Gordon Allport, yang mendefinisikan kepribadian sebagai organisasi dinamik dalam system psikofisiologik seseorang yang menentukan model penyesuaiannya yang unik dengan lingkungannya. Tokoh lain yang mendefinisikan kepribadian ialah Lawrence A. Pervin. Menurut Pervin, kepribadian adalah seluruh karakteristik seseorang atau sifat umum banyak orang yang mengakibatkan pola yang menetap dan merespon suatu situasi.

Masih banyak tokoh lain yang mendefinisikan kepribadian selain dua tokoh yang dicontohkan diatas dengan deskripsi yang berbeda. Namun, disetiap definisi dapat ditarik kesimpulan bahwa kepribadian adalah sesuatu yang menetap dalam diri manusia, yang secara otomatis menjadi landasannya dalam membentuk pola pikir dan bertingkah laku secara individu, maupun sosial, serta bersifat semipermanen. Secara umum, kepribadian seseorang dengan orang lain berbeda. Namun, spesifikasi kepribadian pada seseoramg juga memiliki keidentikan. Contohnya, Ari dan Beni sama-sama memiliki rasa humor yang tinggi (spesifik). Namun Ari berkarakter keras, sedangkan Beni cenderung pemalu dan tertutup. Jadi, jika akumulasikan, Ari dan Beni memiliki kepribadian yang berbeda.

Kepribadian dan Budaya

Kepribadian dan kebudayaan, merupakan dua aspek yang tidak dapat dijauhkan. Eduard Spranger mengistilahkan kedua aspek tersebut dengan istilah roh subyektif dan roh obyektif. Menurutnya, roh subyektif dan roh obyektif itu berhubungan secara timbal balik. Roh subyektif, yang mengandung nilai-nilai yang terdapat pada masing-masing individu, dibentuk dan dipupuk dengan acuan roh obyektif; artinya roh individual itu terbentuk dan berkembang dengan memakai roh obyektif sebagai norma (Suryabrata, 2008). Hal ini sejiwa dengan teori belajar sosial dari Albert Bandura yang mengatakan bahwa kepribadian seseorang tidak lepas dari pengaruh lingkungan sosialnya yang secara otomatis mengandung nilai-nilai budaya.

Dialektika antara kepribadian dan kebudayaan juga dijelaskan oleh Koentjaraningrat dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi. Koentjaraningrat menjabarkan definisi kebudayaan menurut sudut pandang ilmu antropologi sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2009). Gagasan dan tindakan yang digambarkan oleh Koentjaraningrat, adalah aspek yang dipelajari oleh ilmu kepribadian, yang merupakan manifestasi dari kepribadian manusia. Jadi, pengertian dari kebudayaan di atas telah cukup untuk menjustifikasi relevansi antara kepribadian dan kebudayaan.

Kebudayaan memengaruhi kepribadian, dan sebaliknya, kepribadian juga mempengaruhi kebudayaan. Kenyataan ini dikembangkan oleh Kodiran dalam jurnalnya “Pewarisan Budaya dan Kepribadian”. Karena keterkaitannya, Kodiran menyimpulkan bahwa pewarisan sebuah budaya juga merupakan pewarisan kepribadian. Selanjutnya Kodiran menjelaskan proses pewarisan dari sebuah kepribadian dan kebudayaan dapat melalui jalur formal serta informal. Pewarisan melalui jalur formal dapat dilihat dari hubungan yang dilakukan oleh guru dan muridnya disekolah. Sedangkan, pewarisan melalui jalur informal terlihat dari pola interaksi yang dilakukan oleh orang tua dan anak.

Jurnal yang dibuat oleh staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada ini juga memaknai bahwa penelitian-penelitian psikologi tidak terlepas dari pendekatan secara antropologi, dan sebaliknya. Pernyataan ini menguatkan hubungan antara kepribadian dan kebudayaan yang telah dijelaskan di atas.

Ide yang digagas oleh Kodiran ini diperkuat oleh penelitian yang meneliti gejala yang ditimbulkan oleh seseorang dalam masa pubertas di beberapa daerah. Dari semua hasil studi yang termaktub di jurnalnya, Kodiran menyimpulkan bahwa gejala-gejala ketegangan remaja yang terjadi di kalangan masyarakat Eropa tidak sama dengan yang terjadi pada remaja di kalangan masyarakat kepulauan Samoa. Berbasis kesimpulan para ahli psikologi, Kodiran menjelaskan bila hasrat-hasrat birahi atau kelakuan seks yang berkembang, keinginan-keinginan untuk maju, kemauan-kemauan agresif, serta kegiatan-kegiatan dinamis yang sedang tumbuh memuncak dari para remaja putra dan putrid menjelang dewasa di masyarakat ini banyak ditekan dan dihambat terutama oleh lingkungan masyarakat orang-orang dewasa, yang mencoba membatasi aktivitas kaum muda tersebut, dan menganggap mereka belum cukup matang untuk melakukan tugas-tugasnya dalam masyarakat orang dewasa.

Tekanan-tekanan ini akhirnya menimbulkan gangguan-gangguan psikologis antara lain berupa ketegangan-ketegangan batin, frustasi-frustasi, dan lain-lain yang membuat sepak terjang anak-anak muda ini dikendalikan. Hal ini akan jauh berbeda dengan kehidupan pemuda-pemudi, misalnya di Tau (Kepulauan Samoa). Di sini setiap peralihan masa kanak-kanak ke masa dewasa tidak disertai dengan pembatasan maupun pengekangan-pengekangan yang memungkinkan timbulnya berbagai perasaan frustasi ataupun ketegangan-ketegangan batin seperti di atas. Jadi, sesungguhnya segala ketegangan atau konflik-konflik masa pubertas itu tidak selalu berlaku dan bersifat umum. Akan tetapi, hal ini banyak bergantung pada lingkungan dan susunan kemasyarakatan tertentu.

Tidak ada yang tidak mengenal peribahasa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, dimana kepribadian seorang anak mirip dengan kepribadian orang tuanya. Peribahasa tersebut juga berlaku pada konsep kebudayaan bangsa. Kebudayaan yang telah diwariskan leluhur, akan diterapkan pula oleh anak cucunya. Imbasnya, kepribadian anak-cucu para leluhur suatu bangsa akan mirip dengan kepribadian leluhurnya tersebut. Oleh karena itu, hari ini dikenal istilah karakter. Misalnya, karakter orang-orang suku Batak, suku Jawa, dsb, memiliki karakteristiknya masing-masing. Suku Batak dengan watak kerasnya, sedangkan suku Jawa yang cenderung pendiam, dan masih banyak lagi.

Pewarisan kebudayaan dan kepribadian memang tidak lepas dari dinamika kehidupan manusia. Maka, seorang manusia yang baik seharusnya menciptakan budaya yang baik untuk generasi penerusnya. Begitu juga pada Negara, sebuah Negara harus menyiapkan kebudayaan yang baik pula. Hal ini karena nantinya, kepribadian generasi penerusnya tergantung dengan budaya yang saat itu sedang berlaku. Budaya yang baik, akan menjadikan kepribadian yang baik. Sedangkan budaya yang buruk, mengamini kepribadian buruk yang akan muncul nantinya.

Daftar Pustaka
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang: UMM Press.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. 2008. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Jurnal 
Koodiran. 2004. Pewarisan Budaya dan Kepribadian.

*Penulis adalah mahasiswa program studi psikologi FISIP UB angkatan 2010
Dan merupakan kader HMI K ISIP Brawijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar