Oleh: Alamsyah Nur Ramadhan*
Gerpolek
merupakan sebuah tulisan-tulisan Tan Malaka yang dibukukan setelah masa orde
baru berakhir. Pemikiran-pemikirannya yang revolusioner sangat menginspirasi
generasi saat ini. Di dalam tulisan gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) Tan
Malaka membagi masa perjuangan menjadi dua pada masa beliau menulis yaitu masa
jaya berjuang dan masa runtuh berdiplomasi. Pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga
17 Maret 1946 adalah masa jaya berjuang. Sedangkan 17 Maret 1946 hingga 17 Mei
1948 adalah masa runtuh berdiplomasi.
Mengapa Tan Malaka membagi menjadi
dua masa perjuangan?. Pada masa jaya berjuang adalah masa yang bagi Indonesia
merupakan masa-masa semangat. Dasar pembagian itu jika berkenaan dengan ekonomi
adalah bagaimana pada saat itu republic mengembalikan semua yang menjadi hak
milik rakyat tetapi diberikan kepada musuh. Dari sisi Politik adalah bagaiman
mengganti semanagat bertempur dengan mperi runcing diganti dengan perjuangan
diplomasi yang mengikis semangat bertempur. Dari segi diplomasi republic
memberikan kesempatan kepada musuh untuk berunding dan terus berunding.
Lalu siapakah Gerpolek itu? Tan
Malaka menyebutnya sebagai putra/mperi bangsa yang rela berjuang demi
kemerdekaan. Mereka berjuang tanpa mengenal lelah dan tetap setia terhadap
proklamasi. Sang gerilya adalah mereka yang berjuang meski tidak tahu kapan
perjuangan itu akan berakhir. Sang gerilya adalah mereka yang tidak patah asa
dan semangatnya meskipun hanya bersenjata sederhana. Mereka sang gerilya tetap
berjuang dengan semangat menggunakan taktik gerilya politik ekonomi. Tegasnya
dengan semangat berapi-api mereka tetap berjuang dengan ikhlas dan yakin apa
yang mereka perjuangkan tidak akan pernah sia-sia.
Persoalan pokok dalam peperangan
sebenarnya terbagi dua yaitu bertahan dan menyerang. Bagi pihak bertahan adalah
bagaimana bisa bersembunyi dari musuh sembari menunggu waktu untuk melakukan
serangan balik. Di masa kuno benteng dan parit adalah alat bertahan yang cukup
efektif, namun di masa modern hal itu tidak lagi berlaku. Sedangkan bagi pihak
yang meyerang adalah bagaimana bisa melakukan serangan cepat melalalui serangan
kilat yang mematikan pihak lawan. Di masa kuno serangan cepat bisa menggunkan
kuda, panah, dan meriam. Namun di masa modern hal itu tidak berlaku lagi.
Serangan cepat bisa menggunkan tank, pesawat tempur yang bisa melajuh 600 km
hingga 1000 km per jam. Atau juga bisa menyebarkan virus yang mematikan yang
bisa meratakan bumu hanya dalam hitungan menit atau jam.
Jelalah perbedaan kedua permasalahan
perang yang sudah disebutkan. Ada empat mperi-unsur perang yang penting yaitu
keadaan bumi, keadaan senjata, keadaan senjata dan keadaan tempo.selain itu
adanya hukum perang yang berlaku juga menjadi sebuah hal yngmutlak. Bunyi hukum
perang itu kurang lebih adalah dengan gerakan yang terpusat, yang cepat, dan
dengan sekonyong-konyong memecahkan gelang rantai pertahanan musuh yang lemah
dengan maksud memecah-belah hubungan organisasinya dan menghancurkan musuh itu.
Seperti yang telah dijelaskan diatas
bagaimana mperi-unsur perang tersebut. Siasat perang yang dipakai menurut Tan
Malaka adalah siasat perang Stelling yaitu menduduki seluruh pantai yang dijaga
hingga tidak ada luang. Namun pada realitanya panjang seluruh garis pantai pulau
di Indonesia setara dengan keliling bumi. Oleh karena itu Tan Malaka memberikan
solusi dengan menggunakan siasat perang ini pada daerah yang pegunungan karena
pasuka Belanda tidak pernah mendaki pegunungan.
Siasat yang kedua adalah menggunakan
siasat perang cepat dengan mengandalkan angkatan udara dan angkatan laut.
Siasat perang cepat ini membutuhkan kemampuan terutama di bidang transportasi
dalam memusatkan serangan pada urat nadi musuh.sehingga musuh tidak memilik
banyak kesempatan untuk bertahan maupun menyerang balik.
Perang politik mperialis juga
berlangsung pada saat itu. Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali
menggunakan alatnya yaitu pada perundingan-perundingan yang menyebabkan
wilayah-wilayah Indonesia terkikis hingga mencapai 90 % wilayah yang menjadi
hak Belanda kembali sedangkan 10 % wilayah lainnya menjadi milik Indonesia.
Pemerintah yang pada saat itu tidak siap menerima begitu saja permintaan PBB
dan menerima KTN sebagai badan perantara untuk menyelesaikan gencatan senjata
antara Indonesia dengan Belanda.
Sejatinya Komisi Tiga Negara itu
membuka topengnya masing-masing. Bagaimana bisa Negara yang memiliki jajahan
menjadi badan perantara. Bagaimana mungkin Negara yang menganut faham
penjajahan bisa menolak penjajahan begitu saja. KTN sebagai alat mperialism
Amerika, Australia, dan Belgia demi kepentingan di masing-masing Negara
jajahan. Sedangkan bagi Belanda KTN ini menjadi alat kepentingan untuk
mengembalikan Indonesia ke tangan mereka. Oleh karena itu Tan Malaka mnyebutnya
sebagai masa runtuh berdiplomasi.
Pada masa jaya berjuang, belanda
tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan ekonominya karena banyaknya
serangan yang menguras kantong Belanda. Perdagangan luar negeri terhambat
sedangkan pabrik-pabrik dan perkebunan juga tidak bisa dibuka. Namun semua itu
berubah setelah diplomasi dimulai. Belanda bisa kembali menguasai perkebunan
dan pabrik-pabrik mereka. Dalam kondisi itu Belanda bisa membiayai
serdadu-serdadunya. Inilah mengapa Tan Malaka menyebutnya sebagai masa runtuh
berdiplomasi. Inilah sebenarnya dibalik diplomsi pada saat itu sebenarnya hanya
menyengsarakan Indonesia. Hanya satu kalimat saja. Merdeka 100%, Berdaulat
penuh. Inilah yang dicita-citakan oleh seorang Tan Malaka.
*Penulis adalah mahasiswa program studi
Ilmu Politik UB 2012
dan merupakan anggota HmI Komisariat Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
dan merupakan anggota HmI Komisariat Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar