Selasa, 11 Juni 2013

GERPOLEK

Oleh: Alamsyah Nur Ramadhan*

Gerpolek merupakan sebuah tulisan-tulisan Tan Malaka yang dibukukan setelah masa orde baru berakhir. Pemikiran-pemikirannya yang revolusioner sangat menginspirasi generasi saat ini. Di dalam tulisan gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) Tan Malaka membagi masa perjuangan menjadi dua pada masa beliau menulis yaitu masa jaya berjuang dan masa runtuh berdiplomasi. Pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga 17 Maret 1946 adalah masa jaya berjuang. Sedangkan 17 Maret 1946 hingga 17 Mei 1948 adalah masa runtuh berdiplomasi.
             
Mengapa Tan Malaka membagi menjadi dua masa perjuangan?. Pada masa jaya berjuang adalah masa yang bagi Indonesia merupakan masa-masa semangat. Dasar pembagian itu jika berkenaan dengan ekonomi adalah bagaimana pada saat itu republic mengembalikan semua yang menjadi hak milik rakyat tetapi diberikan kepada musuh. Dari sisi Politik adalah bagaiman mengganti semanagat bertempur dengan mperi runcing diganti dengan perjuangan diplomasi yang mengikis semangat bertempur. Dari segi diplomasi republic memberikan kesempatan kepada musuh untuk berunding dan terus berunding.
             
Lalu siapakah Gerpolek itu? Tan Malaka menyebutnya sebagai putra/mperi bangsa yang rela berjuang demi kemerdekaan. Mereka berjuang tanpa mengenal lelah dan tetap setia terhadap proklamasi. Sang gerilya adalah mereka yang berjuang meski tidak tahu kapan perjuangan itu akan berakhir. Sang gerilya adalah mereka yang tidak patah asa dan semangatnya meskipun hanya bersenjata sederhana. Mereka sang gerilya tetap berjuang dengan semangat menggunakan taktik gerilya politik ekonomi. Tegasnya dengan semangat berapi-api mereka tetap berjuang dengan ikhlas dan yakin apa yang mereka perjuangkan tidak akan pernah sia-sia.

           
Persoalan pokok dalam peperangan sebenarnya terbagi dua yaitu bertahan dan menyerang. Bagi pihak bertahan adalah bagaimana bisa bersembunyi dari musuh sembari menunggu waktu untuk melakukan serangan balik. Di masa kuno benteng dan parit adalah alat bertahan yang cukup efektif, namun di masa modern hal itu tidak lagi berlaku. Sedangkan bagi pihak yang meyerang adalah bagaimana bisa melakukan serangan cepat melalalui serangan kilat yang mematikan pihak lawan. Di masa kuno serangan cepat bisa menggunkan kuda, panah, dan meriam. Namun di masa modern hal itu tidak berlaku lagi. Serangan cepat bisa menggunkan tank, pesawat tempur yang bisa melajuh 600 km hingga 1000 km per jam. Atau juga bisa menyebarkan virus yang mematikan yang bisa meratakan bumu hanya dalam hitungan menit atau jam.
           
Jelalah perbedaan kedua permasalahan perang yang sudah disebutkan. Ada empat mperi-unsur perang yang penting yaitu keadaan bumi, keadaan senjata, keadaan senjata dan keadaan tempo.selain itu adanya hukum perang yang berlaku juga menjadi sebuah hal yngmutlak. Bunyi hukum perang itu kurang lebih adalah dengan gerakan yang terpusat, yang cepat, dan dengan sekonyong-konyong memecahkan gelang rantai pertahanan musuh yang lemah dengan maksud memecah-belah hubungan organisasinya dan menghancurkan musuh itu.
            
Seperti yang telah dijelaskan diatas bagaimana mperi-unsur perang tersebut. Siasat perang yang dipakai menurut Tan Malaka adalah siasat perang Stelling yaitu menduduki seluruh pantai yang dijaga hingga tidak ada luang. Namun pada realitanya panjang seluruh garis pantai pulau di Indonesia setara dengan keliling bumi. Oleh karena itu Tan Malaka memberikan solusi dengan menggunakan siasat perang ini pada daerah yang pegunungan karena pasuka Belanda tidak pernah mendaki pegunungan.
             
Siasat yang kedua adalah menggunakan siasat perang cepat dengan mengandalkan angkatan udara dan angkatan laut. Siasat perang cepat ini membutuhkan kemampuan terutama di bidang transportasi dalam memusatkan serangan pada urat nadi musuh.sehingga musuh tidak memilik banyak kesempatan untuk bertahan maupun menyerang balik.
             
Perang politik mperialis juga berlangsung pada saat itu. Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali menggunakan alatnya yaitu pada perundingan-perundingan yang menyebabkan wilayah-wilayah Indonesia terkikis hingga mencapai 90 % wilayah yang menjadi hak Belanda kembali sedangkan 10 % wilayah lainnya menjadi milik Indonesia. Pemerintah yang pada saat itu tidak siap menerima begitu saja permintaan PBB dan menerima KTN sebagai badan perantara untuk menyelesaikan gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda.

Sejatinya Komisi Tiga Negara itu membuka topengnya masing-masing. Bagaimana bisa Negara yang memiliki jajahan menjadi badan perantara. Bagaimana mungkin Negara yang menganut faham penjajahan bisa menolak penjajahan begitu saja. KTN sebagai alat mperialism Amerika, Australia, dan Belgia demi kepentingan di masing-masing Negara jajahan. Sedangkan bagi Belanda KTN ini menjadi alat kepentingan untuk mengembalikan Indonesia ke tangan mereka. Oleh karena itu Tan Malaka mnyebutnya sebagai masa runtuh berdiplomasi.
           
Pada masa jaya berjuang, belanda tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan ekonominya karena banyaknya serangan yang menguras kantong Belanda. Perdagangan luar negeri terhambat sedangkan pabrik-pabrik dan perkebunan juga tidak bisa dibuka. Namun semua itu berubah setelah diplomasi dimulai. Belanda bisa kembali menguasai perkebunan dan pabrik-pabrik mereka. Dalam kondisi itu Belanda bisa membiayai serdadu-serdadunya. Inilah mengapa Tan Malaka menyebutnya sebagai masa runtuh berdiplomasi. Inilah sebenarnya dibalik diplomsi pada saat itu sebenarnya hanya menyengsarakan Indonesia. Hanya satu kalimat saja. Merdeka 100%, Berdaulat penuh. Inilah yang dicita-citakan oleh seorang Tan Malaka.
             
*Penulis adalah mahasiswa program studi Ilmu Politik UB 2012
dan merupakan anggota HmI Komisariat Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar