Selasa, 11 Juni 2013

Bahasa Jawa Krama Inggil Terpingirkan, Moral Buruk Datang



Oleh : Faris Imamuddin Ilmi*

Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional (2008), Bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi berartikulasi yg bersifat sewenang-wenang dan konvensional yg dipakai sbg alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Dalam artian lain, bahasa juga merupakan perkataan-perkataan yg dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, negara, daerah, dsb). Atas dasar inilah, bahasa bisa menjadi salah satu alat yang dapat mepersatukan suatu bangsa yang memiliki perbedaan budaya satu sama lainnya
.
Lirik saja bangsa ini, Indonesia. Dengan 230 juta jiwa yang mendiami 17 ribu pulau, terdapat 1.128 suku bangsa yang berbeda (Badan Pusat Statistik, 2009). Dari sekian banyak suku bangsa, terdapat 726 jenis bahasa daerah di Indonesia yang menjadi alat komunikasi tiap-tiap sukunya (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, 2006). Lalu, apa lagi cara mempersatukan bangsa yang majemuk ini selain menggunakan Bahasa Indonesia? Ketidakberadaan bahasa universal dalam sebuah negara majemuk, hanya akan menyebabkan perpecahan yang bersumber pada miskomunikasi antar budaya.

Meski demikian, kedudukan Bahasa Indonesia tidak dapat menggantikan bahasa asli dari sebuah suku. Seperti, Jawa, Maluku, Papua, Aceh, Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain, sehingga walaupun bangsa Indonesia telah sepakat menggunakan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia, tetap saja setiap orang dalam sebuah suku berinteraksi menggunakan bahasa asli dari suku tersebut.

Disamping itu, kemajukan bahasa di Indonesia juga memiliki kelebihan tersendiri, dimana setiap bahasa dapat  merefleksikan sifat dan karakter umum suku tersebut. Dengan kata lain, di Indonesia ini, bahasa (terutama bahasa daerah) tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi antar individu, namun juga menjadi cerminan dari budaya yang dimilikinya.

Ambil saja contoh pada bahasa Jawa yang dapat membentuk presepsi setiap pendengar beranggapan bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa yang digunakan oleh orang Jawa, sehingga orang yang berbicara dengan bahasa tersebut dipersepsikan sebagai seseorang memiliki sifat lemah lembut, sopan, dan berakhlak mulia. Tidak hanya itu, bahasa Jawa juga memiliki identitas moril yang disisipkan pada tingkatan/jenis dalam bahasa ini. Sistem tingkat tutur bahasa Jawa itu merupakan pertanda pentingnya adat sopan santun yang menjalin sistem tata hubungan manusia Jawa (Soepomo, 1979: 59).

Tiga tingkatan dalam jenis bahasa Jawa yang Pertama adalah Jawa Ngoko. Jawa Ngoko merupakan jenis bahasa yang kasar, jenis ini adalah jenis yang  paling bawah dalam penggunaan bahasa Jawa, contoh “opo”. Kedua Jawa Krama. Jawa Krama merupakan Jenis bahasa Jawa yang lebih halus dari Jawa Ngoko, jenis ini dapat disebut tingkatan menengah, contoh “dalem”. Ketiga Jawa Krama Inggil, jenis bahasa ini merupakan jenis bahasa yang sangat halus dan dalam herarki bahasa Jawa menempati penggunaan bahasa Jawa tingkatan atas.

Setiap jenis bahasa Jawa mempunyai cara yang berbeda dalam penggunaannya, terdapat situasi dan kondisi tertentu dalam memakai salah satu jenis bahasa Jawa, misalnya bahasa Jawa Ngoko dalam penggunaannya menjadi bahasa sehari-hari  untuk berkomunikasi dengan teman sebaya dan orang yang lebih muda, bahasa Jawa Krama sendiri digunakan kepada orang yang lebih tua guna menghargai satu sama lain, bahasa Jawa Krama Inggil dalam penggunaannya sangat cocok dan baik  untuk digunakan kepada orang tua, guru, tokoh masyarakat, kiyai dan manusia lain yang memiliki derajat yang lebih tinggi, namun pada hakikatnya setiap suku Jawa mempunyai keinginan agar dalam berinteraksi satu sama lain baik itu dengan teman sebaya, orang yang lebih muda, orang yang lebih tua, guru, kiyai, pejabat, dan  setiap orang menggunakan bahasa yang mempunyai nilai akhlak yang tinggi, nilai etika yang tinggi, nilai sopan santun yang tinggi yaitu dengan menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil.

Keinginan agar dapat berinteraksi secara penuh dengan bahasa Jawa dengan jenis Jawa Krama Inggil tampaknya sulit untuk terwujud, pasalnya dewasa ini generasi zaman sekarang sering mengacuhkan untuk belajar dan bicara dengan bahasa Krama Inggil, mereka selalu berbicara dengan bahasa Jawa Ngoko, bahasa alay, dan bahasa gaul lainnya terhadap setiap orang tanpa membedakan itu teman atau orang tua, sehingga semakin langkah untuk mencari orang yang berbicara dengan bahasa Krama Inggil atau dengan kata lain orang yang masih memiliki tata krama, akhlak, dan sopan santun seperti nilai yang terkandung dalam Jawa Krama Inggil.

Ketika bahasa yang mengadung nilai tata krama, akhlak, dan sopan santun yang tinggi telah tergusur dengan bahasa yang sangat buruk maka yang terjadi akan adanya kemunduran moral pada penerus bangsa ini, hal tersebut dapat dikaji secara ilmiah dengan mendekatan psikologi. Dalam teori belajar Pavlov yang terkenal dengan sebutan “Clasical Conditioning” dijelaskan bahwa setiap perilaku yang ada terjadi dalam keadaan yang terkondisi, jika para generasi muda selalu menggunakan bahasa buruk maka akan terjadi keadaan terkondisi dan pada akhirnya akan menciptakan moral yang buruk pula. Pada jangka pendek, bahasa yang buruk dapat disebut dengan NS (netral stimulus) maksudnya pada awalnya memang bahasa yang buruk tidak langsung memberi dampak negative pada orang tersebut sehingga dikatakan denga NS, NS tersebut kemudian ditambah dengan tingkah laku yang disebut dengan UCR (Unconditioned Response), maksudnya tingkah laku yang ada belum terpengaruh dengan adanya bahasa yang buruk, sehingga akan menghasilkan sebuah moral yang belum terkondisi secara baik yang disebut UCR (Unconditioned Response), setelah berjalanya waktu dalam jangka panjang ketika bahasa yang buruk yang awanya NS dapat berubah menjadi CS (Conditioned Stimulus) maksudnya bahasa yang buruk tersebut telah menjadi sesuatu yang tertancap dengan kuat dihati orang tersebut sehingga dapat mempengaruhi moral yang awalnya belum bisa terkondisi dengan bahasa UCR berubah menjadi CR (Conditioned Response) maksudnya moral yang ada pada diri pada orang yang berbahasa yang buruk tersebut menjadi terpengaruh dan berubah menjadi moral yang buruk.

Kemunduran bahasa krama inggil dikalangan generasi muda yang terganti dengan bahasa yang buruk (seperti Jawa ngoko, bahasa alay, dan bahasa gaul lain) juga dapat dianalisis teori sikap dan perilaku yang juga merupakan pendekatan psikologis dalam melihat fenomena perilaku. Dalam teori ini orang akan cenderung memilih baik atau buruk terhadap sesuatu, kemudian pilihan tersebut akan menjadi patokan dalam berperilaku. Ketika orang yang sudah tidak mau berbahasa Jawa krama inggil dan lebih memilih dengan bahasa Jawa yang kasar atau Ngoko, bahasa alay, dan bahasa gaul lain, itu berarti orang tersebut sudah tidak lagi menghargai nilai-nilai etis yang terkandung dalam bahasa Jawa Krama Inggil. Maka, kemudian kondisi ini bisa disimpulkan sebagai kemunduran moral bagi suku Jawa yang tidak lagi menjadikan bahasa Jawa Krma inggil sebagai alat komunikasinya.

Dilihat dari prespektif agama pun bahasa Jawa yang kasar atau Ngoko, bahasa alay, dan bahasa gaul lain tidak memiliki nilai etika dan akhlak karena bahasa-bahasa tersebut tidak ada rasa menghormati ketika diucapkan, seperti ketika ada anak berbicara dengan orang tua menggunakan istilah alay “ciyus, miapah, cumpeh looh”, atau dengan bahasa Jawa ngoko yang kasar “opo emak, aku ape njeglag” maka dapat dipastikan tidak ada rasa hormat pada orang tua, padahal agama sangat mewajibkan pada seluruh umat manusia untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua.

Disamping memberi dampak menurunkan moral terdapat juga hal lain ketika bahasa krama inggil terpinggirkan oleh bahasa Jawa yang kasar atau Ngoko, bahasa alay, dan bahasa gaul lain maka dapat menghilangkan bahasa warisan nenek moyang yang sangat berharga dengan kata lain telah menghilangkan salah satu ragam bahasa di Indonesia.

Begitu besar dampak ketika bahasa Jawa krama inggil hilang maka sebagai generasi muda selalu berupaya untuk melestarikan bahasa tersebut, disamping melestarikan hal lain didapat adalah dengan selalu menggunakan bahasa krama inggil maka akan menempa moral dan pribadi menjadi manusia yang berakhlak, sopan santun, dan lemah lembut, dan pada akhirnya akan menjadi generasi penerus bangsa yang berintelektual tinggi dan berakhlak mulia.

*Penulis adalah mahasiswa ilmu politik 2012 UB
Juga merupakan anggota HmI Komisariat Ilmu Soaial dan Ilmu Politik UB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar