Oleh : Faris Imamuddin Ilmi*
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan
Nasional (2008), Bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi berartikulasi yg
bersifat sewenang-wenang dan konvensional yg dipakai sbg alat komunikasi untuk
melahirkan perasaan dan pikiran. Dalam artian lain, bahasa juga merupakan perkataan-perkataan
yg dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, negara, daerah, dsb). Atas dasar
inilah, bahasa bisa menjadi salah satu alat yang dapat mepersatukan suatu
bangsa yang memiliki perbedaan budaya satu sama lainnya
.
Lirik
saja bangsa ini, Indonesia. Dengan 230 juta jiwa yang mendiami 17 ribu pulau,
terdapat 1.128 suku bangsa yang berbeda (Badan Pusat Statistik, 2009). Dari
sekian banyak suku bangsa, terdapat 726 jenis bahasa daerah di Indonesia yang
menjadi alat komunikasi tiap-tiap sukunya (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan
Nasional, 2006). Lalu, apa lagi cara mempersatukan bangsa yang majemuk ini
selain menggunakan Bahasa Indonesia? Ketidakberadaan bahasa universal dalam
sebuah negara majemuk, hanya akan menyebabkan perpecahan yang bersumber pada
miskomunikasi antar budaya.
Meski
demikian, kedudukan Bahasa Indonesia tidak dapat menggantikan bahasa asli dari sebuah
suku. Seperti, Jawa, Maluku, Papua, Aceh, Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain,
sehingga walaupun bangsa Indonesia telah sepakat menggunakan bahasa persatuan
yaitu bahasa Indonesia, tetap saja setiap orang dalam sebuah suku berinteraksi
menggunakan bahasa asli dari suku tersebut.
Disamping
itu, kemajukan bahasa di Indonesia juga memiliki kelebihan tersendiri, dimana
setiap bahasa dapat merefleksikan sifat
dan karakter umum suku tersebut. Dengan kata lain, di Indonesia ini, bahasa
(terutama bahasa daerah) tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi antar
individu, namun juga menjadi cerminan dari budaya yang dimilikinya.
Ambil
saja contoh pada bahasa Jawa yang dapat membentuk presepsi setiap pendengar beranggapan
bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa yang digunakan oleh orang Jawa, sehingga
orang yang berbicara dengan bahasa tersebut dipersepsikan sebagai seseorang memiliki
sifat lemah lembut, sopan, dan berakhlak mulia. Tidak hanya itu, bahasa Jawa
juga memiliki identitas moril yang disisipkan pada tingkatan/jenis dalam bahasa
ini. Sistem tingkat tutur bahasa Jawa itu merupakan pertanda pentingnya adat
sopan santun yang menjalin sistem tata hubungan manusia Jawa (Soepomo, 1979:
59).
Tiga
tingkatan dalam jenis bahasa Jawa yang Pertama
adalah Jawa Ngoko. Jawa Ngoko merupakan jenis bahasa yang kasar, jenis ini
adalah jenis yang paling bawah dalam
penggunaan bahasa Jawa, contoh “opo”. Kedua
Jawa Krama. Jawa Krama merupakan Jenis bahasa Jawa yang lebih halus dari Jawa
Ngoko, jenis ini dapat disebut tingkatan menengah, contoh “dalem”. Ketiga Jawa Krama Inggil, jenis bahasa
ini merupakan jenis bahasa yang sangat halus dan dalam herarki bahasa Jawa
menempati penggunaan bahasa Jawa tingkatan atas.
Setiap
jenis bahasa Jawa mempunyai cara yang berbeda dalam penggunaannya, terdapat
situasi dan kondisi tertentu dalam memakai salah satu jenis bahasa Jawa,
misalnya bahasa Jawa Ngoko dalam penggunaannya menjadi bahasa sehari-hari untuk berkomunikasi dengan teman sebaya dan
orang yang lebih muda, bahasa Jawa Krama sendiri digunakan kepada orang yang
lebih tua guna menghargai satu sama lain, bahasa Jawa Krama Inggil dalam
penggunaannya sangat cocok dan baik untuk
digunakan kepada orang tua, guru, tokoh masyarakat, kiyai dan manusia lain yang
memiliki derajat yang lebih tinggi, namun pada hakikatnya setiap suku Jawa
mempunyai keinginan agar dalam berinteraksi satu sama lain baik itu dengan
teman sebaya, orang yang lebih muda, orang yang lebih tua, guru, kiyai,
pejabat, dan setiap orang menggunakan
bahasa yang mempunyai nilai akhlak yang tinggi, nilai etika yang tinggi, nilai
sopan santun yang tinggi yaitu dengan menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil.
Keinginan
agar dapat berinteraksi secara penuh dengan bahasa Jawa dengan jenis Jawa Krama
Inggil tampaknya sulit untuk terwujud, pasalnya dewasa ini generasi zaman
sekarang sering mengacuhkan untuk belajar dan bicara dengan bahasa Krama
Inggil, mereka selalu berbicara dengan bahasa Jawa Ngoko, bahasa alay, dan
bahasa gaul lainnya terhadap setiap orang tanpa membedakan itu teman atau orang
tua, sehingga semakin langkah untuk mencari orang yang berbicara dengan bahasa Krama
Inggil atau dengan kata lain orang yang masih memiliki tata krama, akhlak, dan
sopan santun seperti nilai yang terkandung dalam Jawa Krama Inggil.
Ketika
bahasa yang mengadung nilai tata krama, akhlak, dan sopan santun yang tinggi
telah tergusur dengan bahasa yang sangat buruk maka yang terjadi akan adanya
kemunduran moral pada penerus bangsa ini, hal tersebut dapat dikaji secara
ilmiah dengan mendekatan psikologi. Dalam teori belajar Pavlov yang terkenal
dengan sebutan “Clasical Conditioning” dijelaskan bahwa setiap perilaku yang
ada terjadi dalam keadaan yang terkondisi, jika para generasi muda selalu
menggunakan bahasa buruk maka akan terjadi keadaan terkondisi dan pada akhirnya
akan menciptakan moral yang buruk pula. Pada jangka pendek, bahasa yang buruk
dapat disebut dengan NS (netral stimulus) maksudnya pada awalnya memang bahasa
yang buruk tidak langsung memberi dampak negative pada orang tersebut sehingga
dikatakan denga NS, NS tersebut kemudian ditambah dengan tingkah laku yang
disebut dengan UCR (Unconditioned
Response),
maksudnya tingkah laku yang ada belum terpengaruh dengan adanya bahasa yang
buruk, sehingga akan menghasilkan sebuah moral yang belum terkondisi secara
baik yang disebut UCR (Unconditioned
Response), setelah berjalanya waktu dalam jangka panjang
ketika bahasa yang buruk yang awanya NS dapat berubah menjadi CS (Conditioned Stimulus) maksudnya bahasa yang
buruk tersebut telah menjadi sesuatu yang tertancap dengan kuat dihati orang
tersebut sehingga dapat mempengaruhi moral yang awalnya belum bisa terkondisi
dengan bahasa UCR berubah menjadi CR (Conditioned Response) maksudnya moral yang ada pada diri pada
orang yang berbahasa yang buruk tersebut menjadi terpengaruh dan berubah
menjadi moral yang buruk.
Kemunduran
bahasa krama inggil dikalangan generasi muda yang terganti dengan bahasa yang
buruk (seperti Jawa ngoko, bahasa alay, dan bahasa gaul lain) juga dapat
dianalisis teori sikap dan perilaku yang juga merupakan pendekatan psikologis
dalam melihat fenomena perilaku. Dalam teori ini orang akan cenderung memilih
baik atau buruk terhadap sesuatu, kemudian pilihan tersebut akan menjadi
patokan dalam berperilaku. Ketika orang yang sudah tidak mau berbahasa Jawa
krama inggil dan lebih memilih dengan bahasa Jawa yang kasar atau Ngoko, bahasa
alay, dan bahasa gaul lain, itu berarti orang tersebut sudah tidak lagi
menghargai nilai-nilai etis yang terkandung dalam bahasa Jawa Krama Inggil.
Maka, kemudian kondisi ini bisa disimpulkan sebagai kemunduran moral bagi suku
Jawa yang tidak lagi menjadikan bahasa Jawa Krma inggil sebagai alat
komunikasinya.
Dilihat
dari prespektif agama pun bahasa Jawa yang kasar atau Ngoko, bahasa alay, dan
bahasa gaul lain tidak memiliki nilai etika dan akhlak karena bahasa-bahasa
tersebut tidak ada rasa menghormati ketika diucapkan, seperti ketika ada anak
berbicara dengan orang tua menggunakan istilah alay “ciyus, miapah, cumpeh
looh”, atau dengan bahasa Jawa ngoko yang kasar “opo emak, aku ape njeglag”
maka dapat dipastikan tidak ada rasa hormat pada orang tua, padahal agama
sangat mewajibkan pada seluruh umat manusia untuk menghormati dan berbakti
kepada orang tua.
Disamping
memberi dampak menurunkan moral terdapat juga hal lain ketika bahasa krama
inggil terpinggirkan oleh bahasa Jawa yang kasar atau Ngoko, bahasa alay, dan
bahasa gaul lain maka dapat menghilangkan bahasa warisan nenek moyang yang
sangat berharga dengan kata lain telah menghilangkan salah satu ragam bahasa di
Indonesia.
Begitu
besar dampak ketika bahasa Jawa krama inggil hilang maka sebagai generasi muda
selalu berupaya untuk melestarikan bahasa tersebut, disamping melestarikan hal
lain didapat adalah dengan selalu menggunakan bahasa krama inggil maka akan
menempa moral dan pribadi menjadi manusia yang berakhlak, sopan santun, dan
lemah lembut, dan pada akhirnya akan menjadi generasi penerus bangsa yang
berintelektual tinggi dan berakhlak mulia.
*Penulis adalah mahasiswa ilmu politik 2012 UB
Juga merupakan anggota HmI Komisariat Ilmu Soaial
dan Ilmu Politik UB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar