Senin, 22 April 2013

Jalan Menuju Iman


Oleh: Iqbal Fajar D. R.*

Bismillahirahmanirahim..

”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam, dan siang” terdapat tanda-tanda(Ayat) bagi orang yang berakal
(QS. Ali Imran[3]: 190)

Ayat itu adalah ayat yang saya rasa paling istimewa seraya mengigatkan kita tentang keistimewaan manusia sebagai mahluk yang dimuliakan oleh Al-Khaliq. Penciptaan akal untuk manusia ini sesungguhnya dapat dijadikan suatu pembeda bagaimana derajat manusia dibanding mahluk-mahluk Allah SWT yang lainya. Melalui akal manusia mampu mengenali siapa dirinya, apa sebenernya hikmah dia ada, harus bagaimanakah dia menjalani hidupnya, hingga siapa sebenarnya yang men-jadi-kan dirinya kini ada. 
Menafsir adanya sang pencipta sebagai jalan menuju iman, seperti halnya ayat yang telah ada diatas bahwa kita sulit dan tak akan mungkin membuktikan secara empiris bahwasanya Tuhan itu ada karena sifatnya transendental maka dari itu dia bukanlah mahluk. Tapi kita mampu membuktikan bahwa ia ada yang maha pencipta yaitu dengan cara memahami ciptaan-ciptaanya. Alam semesta ini misalnya, sesengguhnya alam semesta ini merupakan suatu himpunan dari benda-benda angkasa yang terbatas, dan kemudian bergerak untuk menjadi satu kesatuan yang dapat kita sebut alam semesta yang dapat sebagian liat dalam teori big bang. Pertanyaan kemudian muncul di benak saya.kemudian siapa yang mennggerakan itu semua, ? bukankah benda-benda itu pada awalnya bersifat terbatas ? dan pertanyaaan yang paling mendasar adalah siapa yang menciptakan benda-benda yang terbatas itu ? 
Kata terbatas dalam fikir saya terdefinisikan sebagai sesuatu yang berawal dan berakahir, ya seperti halnya alam semesta, manusia dan kehidupan ini semua terbatas, karena semuanya dapat terjangkau dengan akal. Ia bersifat serba kurang, terbatas dan lemah, misalnya manusia dalam siklus hidupnya ada yang namanya tumbuh, berkembang dan mati. Dari ada kemudian tiada ini menandakan bahwa manusia memiliki batasan. 
Saya berfikir bahwa segala yang memiliki batasan adalah suatu ciptaan dan ia akan bersandar kepada sesuatu yang sifatnya tak terbatas ‘Azali’ ( yang tak berawal dan tak berakhir). Ia tak memiliki batasan karena dia sebagai pencipta suatu ciptaan. Tentunya ia berbeda dengan ciptaanya, kita ambil analogi misalnya  ketika manusia menciptakan sebuah lukisan, hiasan atau bahkan robot, itu semua disbut benda dan tak mungkin disebut sebagai mahluk karena manusia sendiri adalah mahluk. Dari anologi seperti ini dapatlah kita ketahuai bahwa yang menciptakan kita (mahluk) bukanlah sesuatu yang sama halnya dengan kita, ia yang tak mungkin terjamah secara empiris oleh segala kemampuan yang dimiliki oleh mahluknya. Dia adalah sumber dari segala sesuatu yang dapat terjamah oleh akal ini. lantas timbul pertanyaan kembali difikira saya, apakah dia juga diciptakan ? siapa yang menciptakan dia ? 
Bahwasanya dia bersifat ‘Azali’ (tak berawal dan tak berakhir) dia tak diciptakan dan tak berakhir  karena dia berbeda dengan mahluknya. Dia juga tak mungkin menciptakan dirinya sendiri karena tidak mungkin sesuatu yang ‘Azali’ yaitu sang Khaliq dalam waktu bersamaan menjadi mahluk yang bersifat terbatas dan terciptakan, itu sangatlah tidak mungkin. oleh karena itu ia disebut ‘wajibul wujud’ (harus ada) karena dia adalah sandaran dari sesuatu yang harusnya tiada menjadi ada. 
Dari runtutan logika diatas bahwa Allah- lah yang hanya memiliki sifat-sifat ‘Azali’ dan wajibul wujud maka ia adalah sebenar-benarnya tuhan, tempat dimana segala sesuatu keterbatasan  bersandar kepada sesuatu tak terbatas. Dengan mengimani adanya Allah sebagi tuhan maka secara otomatis kita harus pula memyakini kebenaran-kebenaran yang telah dikabarkanya kepada kita seperti halnya Al-Qur’an, rasul Allah yang akan semakin membawa kita kepada akar keimanan yang semakin dalam. 
Jadi pada intinya pembahasan diatas bahwa keimanan haruslah muncul dari suatu kebenaran yang telah teruji oleh akal budi manusia walaupun terbatas akan teapi dengan akal budi lah logika dari alasan keimanan kita dapat terpuaskan. Memang benar jika fitrah dari manusia adalah beriman kepada pencipta, kepada sesutau yang kuasa, esa dan maha segalanya akan tetapi itu hanya muncul dari perasaan hati manusia yang mudah tertipu dan lemah. bahaya ketika manusia hanya beriman atas naluri perasaanya karena perasaan yang  lemah akan kemudian serig kali menambah-nambahkan sesuatu yang tak mempunyai hakekat sama sekali. Ini akan membengkokan keimananya kepada hal-hal yang sesat dan jauh dari kebenaran. Maka harus ada penyelarasnya yaitu akal yang dapat merasionalkan alasan keimanan kita. 
Namun demikian, kita juga janganlah lupa bahwa akal bukanlah segala-galanya. Akal juaga bagian dari ciptaan yang tentunya bersifat terbatas dalam usaha mengimani kebenaran Allah pastilah ada titik dimana akal tak mampu menjangkaunya karena keterbatasan akal. Karena kesadaran akan keterbasan akal inilah yang seharusnya menambah tingkat keimanan kita bahwa ia memang Al-Khaliq suatu zat yang maha suci yang tak terjamah oleh akal manusia.dengan akal kita hanya mampu memahami dan mengimani adanya Allah sebagai Al-Khaliq tapi sangatlh sulit bahkan mustahil kita untuk memahami zat atau wujudnya akal manusia hanya mampu menafsirnya dari ciptaanya. kesemuaan dari tulisan ini membuktikan bahwa islam adalah agama Allah yang menganjurkan umatnya untuk menggunakan akal sebagai salah satu alat penimbang dalam beriman kepada Allah.
Wassallam.,.

“Islam tidak membiarkan perasaan hati yang berasal dari nurani sebagai jalan satu-satunya menuju iman”

*Tulisan ini hanya berusaha mengartikulasikan kembali tentang buku karya Taqiyudin an- nabhani yaitu “Peraturan Hidup Dalam Islam”bab ‘Jalan Menuju Iman’  yang telah tuntas saya baca agar terlihat sederhana dan dapat dicerna oleh nalar secara mudah.

*Penulis adalah mahasiswa ilmu politik FISIP Universitas Brawijaya
dan  juga Anggota HMI K ISIP Brawijaya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar