Oleh: Iqbal Fajar D. R.*
Bismillahirahmanirahim..
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi dan silih bergantinya malam, dan siang” terdapat tanda-tanda(Ayat)
bagi orang yang berakal
(QS. Ali Imran[3]: 190)
Menafsir adanya sang pencipta sebagai
jalan menuju iman, seperti halnya ayat yang telah ada diatas bahwa kita sulit
dan tak akan mungkin membuktikan secara empiris bahwasanya Tuhan itu ada karena
sifatnya transendental maka dari itu dia bukanlah mahluk. Tapi kita mampu
membuktikan bahwa ia ada yang maha pencipta yaitu dengan cara memahami
ciptaan-ciptaanya. Alam semesta ini misalnya, sesengguhnya alam semesta ini
merupakan suatu himpunan dari benda-benda angkasa yang terbatas, dan kemudian bergerak
untuk menjadi satu kesatuan yang dapat kita sebut alam semesta yang dapat sebagian
liat dalam teori big bang. Pertanyaan kemudian muncul di benak saya.kemudian
siapa yang mennggerakan itu semua, ? bukankah benda-benda itu pada awalnya
bersifat terbatas ? dan pertanyaaan yang paling mendasar adalah siapa yang
menciptakan benda-benda yang terbatas itu ?
Kata terbatas dalam fikir saya
terdefinisikan sebagai sesuatu yang berawal dan berakahir, ya seperti halnya
alam semesta, manusia dan kehidupan ini semua terbatas, karena semuanya dapat
terjangkau dengan akal. Ia bersifat serba kurang, terbatas dan lemah, misalnya
manusia dalam siklus hidupnya ada yang namanya tumbuh, berkembang dan mati.
Dari ada kemudian tiada ini menandakan bahwa manusia memiliki batasan.
Saya berfikir bahwa segala yang memiliki
batasan adalah suatu ciptaan dan ia akan bersandar kepada sesuatu yang sifatnya
tak terbatas ‘Azali’ ( yang tak berawal dan tak berakhir). Ia tak memiliki
batasan karena dia sebagai pencipta suatu ciptaan. Tentunya ia berbeda dengan
ciptaanya, kita ambil analogi misalnya ketika manusia menciptakan sebuah lukisan,
hiasan atau bahkan robot, itu semua disbut benda dan tak mungkin disebut
sebagai mahluk karena manusia sendiri adalah mahluk. Dari anologi seperti ini
dapatlah kita ketahuai bahwa yang menciptakan kita (mahluk) bukanlah sesuatu
yang sama halnya dengan kita, ia yang tak mungkin terjamah secara empiris oleh
segala kemampuan yang dimiliki oleh mahluknya. Dia adalah sumber dari segala
sesuatu yang dapat terjamah oleh akal ini. lantas timbul pertanyaan kembali difikira
saya, apakah dia juga diciptakan ? siapa yang menciptakan dia ?
Bahwasanya dia bersifat ‘Azali’ (tak
berawal dan tak berakhir) dia tak diciptakan dan tak berakhir karena dia berbeda dengan mahluknya. Dia juga
tak mungkin menciptakan dirinya sendiri karena tidak mungkin sesuatu yang
‘Azali’ yaitu sang Khaliq dalam waktu bersamaan menjadi mahluk yang bersifat
terbatas dan terciptakan, itu sangatlah tidak mungkin. oleh karena itu ia
disebut ‘wajibul wujud’ (harus ada) karena dia adalah sandaran dari sesuatu
yang harusnya tiada menjadi ada.
Dari runtutan logika diatas bahwa Allah-
lah yang hanya memiliki sifat-sifat ‘Azali’ dan wajibul wujud maka ia adalah
sebenar-benarnya tuhan, tempat dimana segala sesuatu keterbatasan bersandar kepada sesuatu tak terbatas. Dengan
mengimani adanya Allah sebagi tuhan maka secara otomatis kita harus pula
memyakini kebenaran-kebenaran yang telah dikabarkanya kepada kita seperti
halnya Al-Qur’an, rasul Allah yang akan semakin membawa kita kepada akar
keimanan yang semakin dalam.
Jadi pada intinya pembahasan diatas
bahwa keimanan haruslah muncul dari suatu kebenaran yang telah teruji oleh akal
budi manusia walaupun terbatas akan teapi dengan akal budi lah logika dari
alasan keimanan kita dapat terpuaskan. Memang benar jika fitrah dari manusia
adalah beriman kepada pencipta, kepada sesutau yang kuasa, esa dan maha segalanya
akan tetapi itu hanya muncul dari perasaan hati manusia yang mudah tertipu dan
lemah. bahaya ketika manusia hanya beriman atas naluri perasaanya karena
perasaan yang lemah akan kemudian serig
kali menambah-nambahkan sesuatu yang tak mempunyai hakekat sama sekali. Ini
akan membengkokan keimananya kepada hal-hal yang sesat dan jauh dari kebenaran.
Maka harus ada penyelarasnya yaitu akal yang dapat merasionalkan alasan
keimanan kita.
Namun demikian, kita juga janganlah lupa
bahwa akal bukanlah segala-galanya. Akal juaga bagian dari ciptaan yang
tentunya bersifat terbatas dalam usaha mengimani kebenaran Allah pastilah ada
titik dimana akal tak mampu menjangkaunya karena keterbatasan akal. Karena
kesadaran akan keterbasan akal inilah yang seharusnya menambah tingkat keimanan
kita bahwa ia memang Al-Khaliq suatu zat yang maha suci yang tak terjamah oleh
akal manusia.dengan akal kita hanya mampu memahami dan mengimani adanya Allah
sebagai Al-Khaliq tapi sangatlh sulit bahkan mustahil kita untuk memahami zat
atau wujudnya akal manusia hanya mampu menafsirnya dari ciptaanya. kesemuaan
dari tulisan ini membuktikan bahwa islam adalah agama Allah yang menganjurkan
umatnya untuk menggunakan akal sebagai salah satu alat penimbang dalam beriman
kepada Allah.
*Tulisan ini hanya berusaha mengartikulasikan
kembali tentang buku karya Taqiyudin an- nabhani yaitu “Peraturan Hidup Dalam
Islam”bab ‘Jalan Menuju Iman’ yang telah
tuntas saya baca agar terlihat sederhana dan dapat dicerna oleh nalar secara
mudah.
Wassallam.,.
“Islam tidak membiarkan perasaan hati
yang berasal dari nurani sebagai jalan satu-satunya menuju iman”
*Penulis adalah mahasiswa ilmu politik FISIP Universitas Brawijaya
dan juga Anggota HMI K ISIP Brawijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar