Oleh : Nanda Pratama (Nano)*
Kebijakan
luar negeri pemerintahan Bush yang sampai sekarang mengalami kemunduran dalam
proses diplomasi. Hal ini dampak dari pencampuran strategi antara diplomasi dan
remiliterisasi. Keamanan dipahami secara berlebihan, dan cenderung
mengesampingkan proses diplomasi. AS menempatkan dirinya sebagai subjek
(Pemegang peran utama) dan menempatkan negara lain sebagai objek kebijakan luar
negerinya, hal ini berpengaruh terhadap kecenderungan akan kembali terulangnya
strategi yang diterapkan pada perang dunia kedua.
Adanya
ancaman serangan teroris pada beberapa elemen penting (Ekonomi – Politik –
militer) yang ada, membuka peluang yang lebih besar kepada pemerintahan Bush untuk
mengambil peran yang lebih besar pada masalah ketertiban dan keamanan dunia.
Kebijakan luar negeri AS yang demikian itu, telah menggerus peran lembaga
multilateral dalam hal ini PBB dan menganggu proses diplomasi unilateral. Sikap
tegas pemerintahan Bush terhadap teroris Internasional dengan mengatakan bahwa
hal tersebut merupakan ‘Perang Baru Abad 21’, telah mengubah strategi yang ada.
Dewas ini, AS telah menjadikan kekuatan militer sebagai kekuatan utama dengan
mengesampingkan proses diplomasi. AS percaya bahwa perlu adanya ketegasan sikap
terhadap ancaman keamanan dunia, namun mereka telah melupakan hal yang lebih
penting dalam tatanan dunia. Bahwa kekuatan militer, tidak dapat menjawab semua
permasalahan yang ada dan dengan mengesampingkan diplomasi justru terlihat
banyak kelemahan pada kebijakan-kebijakan luar negeri pemerintahan Bush,
seperti apa yang telah dilakukan para pendahulunya dalam menyikapi masalah
Internasional.
Ketergantungan
strategi yang dilakukan AS terhadap aset militer, semakin membuat kebijakan ini
sangat terlihat ‘aneh’ untuk diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Hal ini
membuat penilaian dunia telah bergeser, AS lebih terlihat sebagai pemerintahan
realis daripada sebagai pemerintahan demokratis yang sering mengedepankan
diplomasi. Sebuah pergeseran nilai yang tak dapat dihindarkan, ketika AS terus
kukuh pada strategi militernya.